“Hapuskan Stigma dan Diskriminasi Terhadap Kusta!”
Demikianlah slogan yang selalu digaungkan setiap Hari Minggu terakhir di Bulan Januari, untuk memperingati Hari Kusta Internasional. Hari Kusta Internasional Tahun 2019 jatuh pada hari ini, Minggu, 27 Januari 2019. Peringatan ini bertujuan untuk menghilangkan atau mengubah pandangan masyarakat terhadap penderita penyakit kusta.
Indonesia menjadi salah satu negara dengan pengidap kusta yang cukup tinggi. Tahun 2015, Indonesia merupakan negara ketiga dengan penderita kusta terbanyak di dunia, setelah India dan Brazil, dengan jumlah 17.202 kasus (WHO, Weekly Epidemiological Report, 2016). Kusta atau Lepra sering juga disebut Morbus Hansen, merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri bernama Microbacterium leprae. Kusta menyerang berbagai bagian tubuh seperti kulit dan syaraf. Dalam penanganan yang buruk, penyakit kusta yang progresif dapat menyebabkan kerusakan permanen pada kulit, saraf, anggota gerak, dan mata.
Penyakit kusta telah menjadi wabah yang menakutkan sejak 2000 tahun sebelum Masehi. Di berbagai negara, penderita penyakit kusta sering mendapat perlakuan diskriminasi, mulai dari dijauhi, dikucilkan, hingga diasingkan di pulau tersendiri. Misalnya Pulau Spinalonga yang pernah dijadikan koloni untuk mengasingkan penderita Kusta di Yunani pada awal abad 20. Hampir kebanyakan orang menganggap Kusta merupakan penyakit kulit yang buruk, termasuk Indonesia.
Pada abad ke-19, Indonesia yang saat itu dikenal dengan nama Hindia Belanda, mengalami dark age di bidang kesehatan. Berbagai wabah penyakit membunuh manusia Hindia tanpa memandang pangkat dan jabatan. Salah satu penyakit yang banyak di derita masyarakat Hindia adalah Kusta. Salah seorang dokter lulusan School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau sekolah kedokteran Bumiputera, mendedikasikan dirinya untuk meneliti dan mengobati penyakit Kusta di Indonesia. Dia adalah Jacob Bernadus Sitanala yang kemudian menjadi pahlawan penyakit Kusta di Indonesia dengan berbagai piagam penghargaan.
Dokter Sitanala salah satu lulusan STOVIA (Dok. Museum Kebangkitan Nasional)
Jacob Bernadus Sitanala lahir pada 18 September 1889 di Kayeli, Pulau Buru, Maluku. Ia menempuh pendidikan di Ambonsche Burger School yaitu sekolah dasar yang diperuntukan untuk anak Ambon. Sitanala melanjutkan pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau sekolah menengah pertama, yang kegiatan pembelajarannya menggunakan Bahasa Belanda. Sitanala termasuk siswa yang mudah memahami materi pelajaran, sehingga pendidikan di tingkat dasar dan menengah bisa diselesaikan pada saat berusia 15 tahun.
Pada 15 Januari 1904, Sitanala melanjutkan pendidikan ke School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau sekolah kedokteran Bumiputera yang ada di Batavia. Kepindahan Sitanala ke pusat pemerintahan menjadikan pengetahuannya bertambah, ia mulai aktif dalam kegiatan organisasi pergerakan nasional. Pada 17 Juli 1910 Sitanala hadir dan menjadi pembicara dalam pertemuan Ambonsch Studiefonds yang dihadiri oleh 123 orang. Sitanala mengkritik pengurus yang tidak mampu menggerakan organisasi sesuai dengan tujuan pembentukannya.
Aktif dalam organisasi tidak melalaikan Sitanala untuk segera menyelesaikan pendidikan dokternya. Pada 30 Juli 1912, Direktur STOVIA menyatakan Sitanala lulus dan berhak menyandang gelar Inlandsche Art atau Dokter Bumiputera. Dokter Sitanala diangkat menjadi dokter pemerintah yang ditugaskan menangani wabah penyakit di daerah. Pada 1914, pemerintah menugaskannya ke Merauke untuk mengatasi penyebaran penyakit kelamin. Tugas yang dibebankan kepadanya berhasil dijalankan dengan baik, karena itu pada 1923 pemerintah menugaskan Dokter Sitanala belajar ke Belanda untuk mendalami Penyakit Kusta atau Lepra.
Kecerdasan dan keseriusan Dokter Sitanala dalam memperdalam pengetahuan kedokteran, mengantarkannya untuk meraih ijazah Nederlandsche Arts atau Dokter Belanda pada 1926. Perjuangannya untuk memperdalam pengetahun terus dilanjutkan, pada 1927 gelar doktor dan guru besar dalam ilmu penyakit kusta berhasil didapatkan.
Dokter Sitanala merupakan ahli Penyakit Kusta pertama, sekaligus perintis pemberantasan Penyakit Kusta. Namanya dikenal luas dalam dunia kedokteran Internasional, karena hasil penelitiannya dipublikasikan secara luas, termasuk tentang metode baru pengobatan Penyakit Kusta yang dikembangkannya.
Pada 1 November 1927, pemerintah menugaskan Dokter Sitanala untuk memimpin rumah sakit kusta Plantoengan, di Semarang, agar penderita kusta bisa ditangani dengan cepat. Pada masa itu penderita kusta jarang mendapat pengobatan, saat dibawa ke rumah sakit umum, pengelola rumah sakit menyarankan untuk dibawa ke rumah sakit kusta. Sesampai di rumah sakit kusta, penderita kusta itu akan memperoleh jawaban, rumah sakit penuh dan kembali lagi kemari enam bulan lagi.
Dokter Sitanala bersama dengan Dokter Kadijat dan Dokter Soetomo berusaha merumuskan cara yang tepat untuk memberantas wabah kusta di Pulau Jawa. Pada 24 Januari 1940, pemerintah mengangkatnya menjadi Hoofd Leprabestrijding atau Kepala Pemberantas Lepra/Kusta. Dia juga menerima bintang kehormatan tertinggi dari Kerajaan Swedia, Wasa Orde setaraf dengan Nobelprijs (hadiah nobel), dan beberapa penghargaan dari sarjana-sarjana internasional di bidang kesehatan.
Penghargaan Warsa Orde Kerajaan Swedia
Dokter pejuang pemberantas penyakit kusta ini meninggal pada 30 Agustus 1958, untuk mengenang jasanya rumah sakit khusus kusta di Tangerang diberi nama Rumah Sakit Kusta Dokter Sitanala.
Rumah Sakit Kusta Dr. Sitanala, Kota Tangerang
Sumber:
InfoDATIN (Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI), 2018
Tutup Kuncoro, Menilik Endemi dan Epidemi di Kalimantan Barat di Masa Lalu, 2017, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkalbar/menilik-endemi-dan-epidemi-di-kalimantan-barat-di-masa-lalu/
Museum Kebangkitan Nasional, Ontwikkeling van het Geneeskunding Onderwijs te Weltevreden, 1851-1926
0 Komentar