Kontributor: Zulfa Nurdina Fitri
Soetomo, dilahirkan di desa Ngepeh, Nganjuk, Jawa Timur pada 30 Juli 1888. Nama aslinya adalah Soebroto. Ia adalah putera pertama dari tujuh bersaudara pasangan Raden Soewadji dan Raden Ayoe Soedarmi. Saat kedua orangtuanya menikah, mereka tidak memeroleh restu dari orangtua Raden Ayoe Soedarmi yang bernama Raden Ngabehi Singowidjojo. Alasannya adalah karena Raden Soewadji berasal dari status sosial yang berbeda. Pasangan ini akhirnya menikah, walaupun tidak mendapatkan restu dari orang tua mempelai wanita. Pasangan ini dikaruniai tujuh anak. Anak pertama diberi nama Soebroto (yang kemudian bernama Soetomo). Soebroto memiliki adik enam orang, yakni Raden Soesilo (1892—1943), Raden Soeratno (1895—1942), Raden Ayoe Sriyati ( 1896—1963), Raden Ayoe Swi Woelan (1898—1983), Raden Ayoe Sri Oemiyati (1903—1989), dan Raden Ayu Siti Soendari (1906—1998).

Sumber: KITLV
Sejak kecil, ia tinggal bersama kakeknya di desa Ngempal, Nganjuk, Jawa Timur. Ayahnya, Raden Suwadji tidak tinggal bersama-sama dengan Soebroto, karena ayahnya bertugas di Maospati. Setiap hari ia diasuh oleh neneknya, yang sangat taat menjalankan ibadah agama. Ayahnya, yang semula dikenal sebagai seorang guru, berkat ketekunan dan kepandaiannya, diangkat menjadi asisten wedana di Maospati. Ia dikenal sebagai seorang yang berkemauan keras dan mendahulukan kepentingan orang banyak daripada kepentingan pribadi. Bahkan, kerapkali ia melawan perintah atasannya demi membela kepentingan rakyat.
Menginjak usia 7 tahun, Soebroto kecil harus berpisah dengan kakek dan neneknya, karena harus tinggal bersama orang tuanya di Bojonegoro. Kesendiriannya inilah yang membuat Soebroto selalu ingat akan kakek dan neneknya yang tetap bermukim di desa. Setahun kemudian, ia harus meninggalkan orang tuanya karena harus masuk sekolah di Europeesche Lagere School atau yang dikenal sebagai ELS di kota Bangil. Sekolah ini adalah sekolah rendah untuk bangsa Eropa, bangsa Timur Asing (Cina, Arab), dan putera pejabat bumi putra. Untuk keperluan ini, ia harus pindah dan tinggal bersama pamannya yang bernama Raden Arjodipoero. Soebroto kecil merasa kerasan tinggal di rumah itu, karena putera Arjodipoera yang bernama Raden Sahit usianya sebaya dengan Soebroto. Raden Sahit yang usianya sedikit lebih tua, sudah menjadi siswa ELS terlebih dahulu. Tatkala pamannya mendaftarkan Soebroto masuk ke ELS, ia ditolak menjadi murid di ELS tanpa alasan yang jelas oleh kepala sekolahnya. Pamannya, Raden Arjodipoero tidak putus asa. Ia mengubah nama Soebroto menjadi Soetomo, yang diakuinya sebagai anaknya sendiri, adik dari Raden Sahit. Akhirnya pada 1896, Soetomo diterima menjadi murid di ELS.
Rasa setia kawan Soetomo dengan murid-murid bumi putra lainnya sangat tinggi. Bahkan ia tidak segan-segan untuk berkelahi dengan anak-anak Eropa atau Timur Asing guna membela teman-temannya orang bumi putra. Dalam catatan di ELS, Soetomo dikenal sebagai murid yang berani melawan murid Eropa. Dengan tindakannya itu, ia disegani oleh murid-murid Eropa, namun disenangi oleh murid-murid bumi putra. Beberapa kali kepala sekolah ELS memanggilnya dan menasehatinya agar tidak berkelahi. Namun, hal ini tetap saja dilakukan, yang akhirnya membuat kepala sekolah maklum, bahwa Soetomo berkelahi untuk membela teman-temannya sesama bumi putra.
Setelah berhasil menamatkan sekolahnya di ELS, Soetomo meminta nasehat baik kepada ayahnya maupun kepada kakeknya. Kakeknya menghendaki agar kelak, Soetomo menjadi seorang pegawai Pangreh Praja, yang saat ini merupakan profesi yang sangat tinggi dan terpandang di masyarakat. Oleh karena itu, setelah menyelesaikan ELS-nya, kakeknya meminta agar Soetomo masuk ke Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA). OSVIA adalah sekolah pendidikan pegawai bumi putra, yang saat itu sangat diminati oleh banyak anggota masyarakat, karena lulusannya akan bekerja di pemerintahan sebagai pegawai Pangreh Praja. Berseberangan dengan kakeknya, ayahnya menghendaki agar Soetomo setelah menyelesaikan ELS-nya segera melanjutkan pendidikannya di sekolah dokter di Batavia, School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA).
Untuk sementara, ia belum menentukan pilihan. Namun, dalam hati kecilnya ia lebih suka untuk melanjutkan sekolahnya di STOVIA. Yang menjadi pertimbangan adalah, apabila ia melanjutnya sekolahnya di OSVIA, ia akan menjadi pegawai Pangreh Praja yang sering diperlakukan tidak manusiawi oleh orang Belanda. Oleh karena itu, ia memberanikan diri untuk menanyakan kepada ayahnya mengapa ia tetap betah menjadi pegawai Pangreh Praja. Ayahnya tidak segera menjawabnya. Akhirnya, ia menjelaskan bahwa kondisi ekonomi keluarga saat itu bisa lebih baik berkat pekerjaan ayahnya yang menjadi Pangreh Praja. Dengan gaji yang cukup besar, ayahnya dapat mengangkat perekonomian keluarga.
Kemudian ditegaskan kembali oleh ayahnya bahwa ia tidak menginginkan anaknya mengikuti jejak ayahnya sebagai pegawai Pangreh Praja. Soetomo menyadari betul bahwa ayahnya sering kali harus menahan diri dan mengorbankan perasaan karena diperlakukan tidak adil oleh atasannya yang orang Belanda. Ini semua dilakukan demi ekonomi keluarga. Hal ini disadari betul oleh Soetomo. Apalagi setelah ayahnya membawakannya dan menunjukkan kepadanya foto-foto seragam siswa sekolah dokter dengan jas putih dan mengenakan peci. Dengan alasan untuk menumbuhkan motivasi anaknya agar mau melanjutkan ke sekolah dokter, foto-foto itu selalu ditunjukkan kepada Soetomo. Oleh karena itu, Soetomo pun paham bahwa ayahnya tidak menghendaki dirinya melanjutkan sekolahnya di OSVIA. Motivasinya untuk masuk ke STOVIA menjadi semakin besar tatkala ia mengetahui bahwa perlakukan pegawai pemerintah yang berkebangsaan Belanda selalu minta dihormati dan dinomorsatukan walaupun jabatannya lebih rendah bila dibandingkan dengan pegawai Pangreh Praja bumi putra.

Sumber: KITLV
Dari hasil diskusi dengan ayahnya tentang rencana ke depan setelah Soetomo menyelesaikan ELS-nya, membuat Soetomo lebih hormat dan sayang kepada ayahnya. Ia paham betul akan pengorbanan ayahnya yang harus dilakukanya demi keluarganya. Akhirnya, ia berjanji untuk melanjutkan pendidikannya di STOVIA walaupun harus mengecewakan keinginan kakeknya. Setelah menyelesaikan ELS, Soetomo akhirnya mendaftar masuk di STOVIA. Pada 10 Januari 1903, ia secara resmi diterima menjadi pelajar di STOVIA bersama teman-teman lainnya. Dengan diterimanya di sekolah tersebut, berarti ia harus meninggalkan kota dan keluarganya menuju Batavia guna menuntut ilmu, berhubung para siswanya harus masuk asrama.
Pengalaman jauh dari keluarga maupun temannya inilah yang menjadikannya ia bermalas-malasan, suka melanggar peraturan dan berkelahi di antara mereka. Setiap kali membuat keributan, direktur STOVIA selalu memberikan hukuman. Namun, hal itu tidak membuat ia jera, bahkan ia belajar secara serampangan dan tidak memiliki tanggung jawab sama sekali. Suasanalah yang membuat ia tidak betah di asrama. Dengan kondisi seperti ini mengakibatkan hasil evaluasi belajarnya tidak memuaskan baik bagi guru, direktur, maupun ayahnya. Karena telah kehabisan gagasan untuk menghukum Soetomo, Direktur STOVIA akhirnya mengirimkan surat kepada orangtuanya yang isinya berupa ancaman bagi Soetomo. Ia akan dikeluarkan dari sekolahnya apabila tidak ada kemauan untuk memperbaiki hasil evaluasi belajarnya. Surat peringatan dari Direktur STOVIA menjadikan ayahnya geram dan merasa prihatin, mengapa hal itu bisa terjadi.

Sumber: KITLV
Begitu menerima surat peringatan dari Direktur STOVIA, ayahnya kemudian menulis surat kepada Soetomo, yang berbunyi sebagai berikut:
Saya sedih, mengapa kamu berbuat demikian, Cuk? Bagi saya sedikit artinya uang yang saya kirimkan setiap bulan kepadamu. Demikian pula susah payah yang saya lakukan supaya kamu meneruskan sekolah tersebut. Yang membuatku sedih khusus karena kamu menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan kepadamu.
Ingat bangsamu, Cuk. Bangsamu yang dijajah Belanda. Mereka harus ditolong. Siapa yang akan menolong jika bukan anak negeri sendiri? Dan jika kamu kelak berhasil menjadi dokter kamu bisa berbuat banyak. Orang Belanda tidak bisa mendekati mereka, sedangkan kamu mampu. Maklum kamu mengerti cara mereka hidup dan berpikir.
Cuk, harus ada orang yang memimpin mereka. Saya selalu berdoa semoga sesudah menjadi dokter kelak kamu bisa menjadi pemimpin bangsamu. Bangsa yang kini melarat karena seluruh kekayaannya dihabisi oleh Bangsa Penjajah, ternyata kini waktumu kau habiskan secara sia-sia, Cuk.
Saya yakin kamu bisa mengikuti pelajaran itu asal kamu mau. Bukankah mengenai hal itu pernah kamu perhatikan ketika bersekolah di Bangil dulu? Jadi, Cuk, saya harap sesudah menerima surat ini kamu akan berubah. Saya percaya kamu bisa. Malah jika kamu mau, setiap anak Belanda dapat kau kalahkan, ingat, Cuk. Bangsamu menunggu. Jangan sia-siakan harapan mereka itu.
Membaca surat dari ayahnya, hati kecil Soetomo tersentuh, kemudian ia berjanji untuk belajar lebih giat lagi. Surat ayahnya itu menjadi titik balik bagi dirinya untuk mengubah sikap dan perilakunya selama ini. Teman-teman seangkatannya melihat perubahan yang terjadi pada diri Soetomo. Kini, setelah menerima surat dari ayahnya itu, waktunya dihabiskan untuk membaca buku-buku referensi di perpustakaan. Keseriusannya dalam mengejar ketinggalannya itu membuat heran para guru, termasuk Direktur STOVIA saat itu Dr. H.F. Roll. Perubahan perilaku dan prestasinya, membuat ia mulai dihargai baik oleh teman seangkatannya maupun oleh guru-gurunya. Saat berlibur, waktunya ia habiskan untuk berdiskusi dengan ayahnya. Banyak gagasan Soetomo yang diterapkan oleh ayahnya, khususnya dalam menghadapi baik permasalahan di kantor maupun di rumah.
Kondisi ini tidak berlangsung lama, karena pada 28 Juli 1907, ia menerima telegram dari keluarganya yang mengabarkan bahwa ayahnya, Raden Soewadji meninggal dunia. Telegram ini sangat menggoncangkan hati Soetomo, karena sebagai anak sulung, ia harus berkorban menggantikan peran ayahnya dalam memenuhi kebutuhan ekonominya. Untuk merealisasikannya, ia berniat untuk keluar dari STOVIA agar segera dapat bekerja menggantikan peran ayahnya. Keinginannya ini mendapat tantangan tidak hanya dari keluarga, tetapi juga dari teman-teman dan guru-gurunya. Kebiasaan berkumpul dengan teman-temannya yang senang berpesta sebelum ayahnya meninggal, kini ia hindari. Keputusan ini ia ambil karena ia sadar benar akan pesan ayahnya itu. Perubahan perilaku dan pemikirannya terlihat dari raut mukanya sehari-hari yang selalu terlihat murung. Akibat dari kematian ayahnya itu pribadinya berubah. Kini ia menjadi pribadi yang teratur, cermat, dan penuh kehati-hatian. Hal ini juga tampak dalam kegiatan diskusi bersama teman-teman dan gurunya. Ia juga sangat hemat dalam membelanjakan uang beasiswa yang diterimanya dari pemerintah Belanda. Uang tabungan yang dimilikinya digunakan untuk membantu teman-temannya yang membutuhkan. Dengan alasan inilah akhirnya ia dipercaya oleh teman-temannya untuk menjadi bendahara perkumpulan di kelasnya. Semua guru dan Direktur STOVIA melihat perubahan pribadinya itu. Akhirnya, pada 11 April 1911, ia berhasil menyelasaikan sekolahnya dengan memperoleh nilai bagus.
Sumber:
Kasenda, P., Tangkilisan, Y. & Marihandono, D. (2013). Dokter Soetomo. Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional.
Panuju, R. (2002). Dr. Soetomo Pahlawan Bangsaku. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Veur, P. W. (ed.) (1984). Kenang-Kenangan Dokter Soetomo. Jakarta: Sinar Harapan.