Wanita penjual jamu di pasar (sumber: nationalgeographic.grid.id)

Dianggap ketinggalan jaman oleh sebagian orang, jamu kini kembali menjadi populer sejak pandemi covid-19 awal 2020 lalu. Jamu dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit dan meningkatkan kekebalan tubuh. Setelah melewati dua tahun masa pandemi, banyak menjadi konsumsi jamu menjadi sebuah gaya hidup seperti halnya mengonsumsi teh atau kopi. Jamu merupakan kekayaan budaya yang diwariskan turun-temurun. Eksistensi jamu telah melalui perjalan penjang sejak sebelum abad ke-18.

Jamu Sebelum Abad 18

Temuan arkeologi berupa alu, lumpang, dan pipisan dari bahan batu menjadi bukti tertua yang menunjukkan bahwa nenek moyang kita telah memanfaatkan ramuan sejak jaman neolitikum. Bukti ini diperkuat lagi dengan ditemukannya relief dari abad 8 M yang menggambarkan penggunaan ramuan untuk pengobatan. Relief tersebut terpahat pada dinding candi Borobudur, candi Prambanan, dan kemudian pada candi Panataran abad 8-9 M.

Pengolahan ramuan jamu juga muncul pada naskah-naskah kuno. Salah satu diantaranya naskah Oesada Bali yang berisi uraian pemanfaatan ramuan (jamu). Naskah kuno dari tahun 991-1016 M yang ditorehkan pada daun lontar tersebut ditulis dalam Bahasa Jawa Kuno, sansekerta, dan Bahasa Bali. Diduga, kata “jamu” sendiri merupakan singkatan dari “djampi oesodo”. Djampi berarti doa, dan oesodo berarti kesehatan.

Penggunaan kata “jamu” atau “djamoe” sendiri pertama kali tersurat pada abad 15 M dalam primbon di Kartasuro. Uraian jamu secara lengkap terdapat di serat Centini yang ditulis oleh Kanjeng Gusti Adipati Anom Mangkunegoro III tahun 1810-1823 M. Pada tahun 1850 M, Raden Atmasupana II menulis sekitar 1734 resep ramuan jamu. Sementara itu, pemanfaatan jamu di luar daerah Jawa belum tercatat dengan baik.

Relief Candi Borobudur: masyarakat mengonsumsi ramuan yang diduga adalah jamu (sumber: kumparan.com)

Jamu di Abad 19

Pada masa kolonial, pemerintah mengirim dokter-dokter eropa ke wilayah Nusantara yang saat itu masih menjadi wilayah jajahan. Kondisi masyarakat saat itu banyak terjangkit penyakit-penyakit endemi wilayah sub-tropis yang bahkan tidak familiar bagi dokter-dokter eropa tersebut. Hal itu mendorong mereka untuk mempelajari ramuan jamu yang dipercaya masyarakat lokal dapat menyembuhkan penyakit tertentu.

Dr. Carl Waitz, salah satu dokter eropa yang fokus mempelajari ramuan jamu dan menuliskannya menjadi sebuah buku berjudul “Practical Observations on a number of Javanese Medications” pada tahun 1829. Selain dr. Carl Waitz, dr Cornelis L Van der Burg juga menulis buku tentang pemanfaatan jamu 900 halaman berjudul “Materia Indica”. KemudianPada tahun 1850, seorang ahli kesehatan Geerlof of Wassink membuat kebun tanaman obat di lokasi yang sekarang menjadi RSPAD Gatot Subroto.  Dia juga menginstrusikan para dokter untuk memanfaatkan tanaman herbal sebagai obat.

Pemanfaatan jamu kemudian menurun drastic pada awal tahun 1900an dengan ditemukannya teori baru tentang bakteri oleh Pasteur dan ditemukannya teknologi sinar X. 

Jamu di Abad 20

Perkembangan dunia kesehatan dan farmasi yang semakin modern memperkenalkan obat-obatan berbahan kimia. Obat berbahan kimia dinilai lebih cepat dan praktis dalam penyembuhan. Di sisi lain, obat-obatan memiliki harga yang terkadang cukup mahal dan sulit terjangkau. Merespon hal ini, dr Abdul Rasyid dan dr Seno pada akhir 1930an kembali menganjurkan konsumsi jamu sebagai upaya preventif untuk menggantikan obat yang harganya mahal.

Tahun 1939, di Solo diadakan konferensi I tentang jamu yang dihadiri oleh para dokter. Tahun 1940, Jawatan Kesehatan memerintahkan penelitian mengenai campuran rempah-rempah Indonesia. Pamor jamu perlahan kembali meningkat, terutama pada masa penjajahan Jepang. Sampai dengan masa itu, terdapat tiga pabrik jamu besar di Indonesia yaitu PT Jamoe Iboe Jaya, PT Nyonya Meneer, dan PT Sido Muncul. Setelah perang dunia kedua, bermunculan lebih banyak pabrik jamu terutama di Jawa Tengah.

Perhatian terhadap jamu semakin meningkat, dibuktikan dengan didirikannya Himpunan Ahli Bahan Alami Indonesia (HIPBOA) pada 1978 dengan salah pendirinya yaitu dr. Sardjono Oerip Santoso. Dr. Sardjono juga yang mencetuskan agar dalam kurikulum Pendidikan kedokteran dimasukkan mata ajak pengobatan tradisional Indonesia. Namun hal tersebut tidak terealisasi karena sebagian besar dokter menyatakan bahwa khasiat jamu belum dapat dibuktikan secara ilmiah.

Jamu di Abad 21

Banyaknya tanaman herbal lokal yang dipatenkan di luar negeri mendorong para pakar jamu terus memperjuangkan agar jamu lebih diperhatikan di negeri sendiri. Setiap kementerian bahkan berlomba-lomba Menyusun road map tentang jamu tradisional. Sampai akhirnya disepakati 27 Mei menjadi Hari Kebangkitan Jamu Indonesia.  Peresmian Hari Kebangkitan Jamu pada tahun 2008  oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekaligus juga meresmikan jamu sebagai brand Indonesia. Yus

Referensi :

Purwaningsih, Ernie H. 2013. Jamu, Obat Tradisional Asli Indonesia Pasang Surut Pemanfaatannya di Indonesia. e-Journal Kedokteran Indonesia Vol. 1, No. 2, Agustus 2013: 85-89.

Hesselink, Liesbeth. Para Penulis Hindia. Gelanggang Riset Kedokteran di Bumi Indonesia: Jurnal Kedokteran Hindia-Belanda 1852-1942: 113-145.

0 Komentar

Avatar placeholder
Buka Chat
Hubungi Kami