Kontributor:  Nalaprada Kidung Widyadari (Mentari Intercultural School Bintaro)

Fotoin ya waktu kalian masuk pesawat, fotoin pemandangan langit dari atas, dan nanti saat sampai di Jakarta. Pokoknya fotoin semua dan kirim ke aku, jadi seakan-akan aku ikut denganmu.” Permintaan teman baruku Aleks, sungguh mempengaruhi suasana hati dan membuatku termenung pada momen-momen terakhirku di Pulau Kei Besar. Aleks, Aleksander Heatubun, yang berasal dari Ohoi (desa) Watsin adalah rekan setempat yang telah membersamaiku selama dua minggu dan menjadi bagian dari program bagi komunitas di sana. Berkeliling ke berbagai desa, persahabatan yang kubangun dengan anak-anak di Kei Besar membuat rasa frustrasiku terhadap ketidaksetaraan antara pendidikan di desa dan kota semakin terasa membara di dada.

Kekurangan dana dan tenaga kerja guru menjadi kendala besar bagi para pelajar Kei Besar. Sering kali di setiap SD hanya tersedia enam orang guru dan perpustakaan SMP hanya memiliki kurang dari 100 buku—itu pun dengan tema yang terbatas pada keagamaan dan budi pekerti. Kurangnya paparan akan beragamnya profesi lain di luar kehidupan pulau tampaknya membatasi angan-angan masa depan mereka. Wawasan para pelajar soal profesi pilihan terbatas pada profesi pastor, guru, polisi, dokter, atau bidan, yang dapat mereka lihat sendiri di kehidupan sehari-hari. Selain itu, biaya sekolah dan transportasi juga menjadi alasan kurangnya kemampuan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Kebanyakan pelajar juga bertanggung jawab membantu ekonomi keluarga, terlebih jika mereka anak sulung. Karena itu, ketimbang meninggalkan orang tua untuk melanjutkan pendidikan, lebih banyak murid laki-laki putus sekolah setelah SMP demi membantu usaha keluarga.

Beberapa faktor sosial budaya ikut membatasi masa depan generasi muda Kei Besar. Sebagian dari angka putus sekolah disebabkan oleh pernikahan dini penduduk wanita yang bahkan masih berumur 16 tahun—biasanya dengan pria yang lebih tua. Kebiasaan seks bebas juga menyebabkan meledaknya kasus penyakit menular seksual. Klinik tempatku mengabdi terus-menerus berusaha memberikan wawasan tentang bahaya seks bebas karena sering menemukan kasus HIV. Sedangkan di sisi lain, penggunaan kontrasepsi bertentangan dengan kepercayaan agama dan alat pengaman alternatif pun tidak dijual di pasar. Masyarakat di sana, yang secara geografis dibagi antarwilayah agama dan sesekali masih terlibat dalam tawuran antarkelompok penduduk, memang menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan (pernikahan, prokreasi) yang masih konservatif—belum terpengaruh oleh beragam pemikiran yang lebih maju. Situasi-situasi di atas menyebabkan dorongan untuk terus belajar menjadi semakin rendah dibanding dengan desakan untuk segera berkeluarga.

Lantas, apakah sebaiknya kita biarkan saja masyarakat Kei Besar dengan orientasi mereka saat ini? Apakah memang selayaknya generasi muda di sana tidak perlu mengembangkan lagi aspirasi mereka? Tidak. Kesan terkuat dari interaksiku dengan para pelajar tingkat SD di sana adalah anak-anak Kei Besar sesungguhnya penuh semangat dan gairah. Mereka siap mendengarkan presentasi dan bersedia menjawab pertanyaan. Mencermati seluk-beluk kehidupan di wilayah Indonesia lainnya pada layar proyektor, binar-binar yang muncul di mata mereka membuatku tersadar—mimpi di hati mereka bisa jadi sama besarnya dengan mimpi kami anak-anak kota. Sayangnya, suasana di kelas tempatku berinteraksi dengan para remaja Kei Besar justru jauh lebih sepi. Kebanyakan remaja di Kei Besar tidak yakin bahwa dirinya berhak memiliki mimpi yang lebih besar. Terbatasi oleh banyaknya kendala yang hampir-hampir menihilkan usaha selama ini, Indonesia seakan masih membiarkan sebagian dari anak-anaknya berada di sisi tepian negara. Maka saat ini sudah waktunya untuk berubah! Sudah saatnya kita semua bekerja sama untuk membangkitkan pendidikan di daerah terpencil agar mutunya setara dengan wilayah lainnya. Dan menurutku, pandemi Covid-19 telah memberi kita jendela untuk melihat pendekatan baru dalam mengatasi masalah ini.

Presentasi tentang pentingnya pendidikan, teknologi, dan kesehatan mental di hadapan murid-murid SD-SMP Naskat Bombay
Sumber: Dokumentasi Kontributor

Pembelajaran secara daring sebenarnya dapat diterapkan sebagai solusi atas masalah kurangnya tenaga kerja guru. Kemudahan bagi para sukarelawan untuk bertemu para pelajar Kei Besar di ruang-ruang kelas maya semestinya menjadi daya tarik lebih untuk menjaring lebih banyak sumber daya manusia di luar pulau, tanpa perlu biaya transportasi ataupun kepindahan. Mencermati tingkat literasi teknologi yang masih rendah, maka implementasi pembelajaran daring ini akan mendorong para pelajar mengoptimalkan pemanfaatan komputer ataupun telepon seluler yang umumnya sudah mereka miliki. Fasilitas komputer di sekolah yang selama ini terbatas akan lebih baik jika digandakan fungsinya sekaligus untuk mengakses buku-buku versi digital. Hal ini akan mengatasi masalah kurangnya jumlah dan ragam bacaan di perpustakaan-perpustakaan sekolah. Meskipun buku versi cetak dan digital memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing, tingginya biaya distribusi untuk mendatangkan barang dari luar pulau menjadikan penyediaan buku digital sebagai alternatif yang lebih ekonomis dan segera.

Pembelajaran daring tanpa kendala di Kei Besar masih memerlukan peningkatan kualitas akses terhadap internet. Banyak daerah yang kukunjungi sulit mendapatkan akses yang stabil karena topografi pulau yang berbukit dan bergunung. Meski saat ini jumlah menara telekomunikasi terkesan mencukupi untuk pulau berpenduduk sekitar 19.364 orang, nyatanya akses jauh lebih stabil di dataran yang lebih tinggi saja. Bersamaan dengan rendahnya tingkat literasi teknologi, kendala akses ini seakan menggiring penduduk pulau menjadi lebih terisolasi dari pesatnya kemajuan di berbagai bidang. Pemanfaatan telepon seluler pun masih terbatas sebagai alat hiburan dan belum untuk tujuan edukasi. Bila kualitas akses dapat ditingkatkan, maka akan lebih mudah mengenalkan beragam aplikasi edukasi seperti DuoLingo dan Notes, serta mengarahkan generasi muda di sana untuk kontinu mencari berbagai informasi yang bermanfaat. Kualitas pendidikan di daerah terpencil seperti Kei Besar diharapkan meningkat jika generasi mudanya lebih terbiasa memanfaatkan teknologi secara lebih terarah. Gelombang globalisasi akan lebih mudah menyentuh mereka dan kebiasaan konservatif seperti pernikahan dini diharapkan menurun seiring banyaknya generasi muda mengenali nilai-nilai moral yang lebih progresif.

Apakah kita bermaksud mengubah tradisi dan kearifan lokal masyarakat Kei Besar? Tidak. Asalkan tidak adanya ketergantungan yang tidak perlu pada penggunaan teknologi, terlebih paparan-paparan informasi yang tidak sejalan dengan Pancasila. Dengan demikian, nilai-nilai positif dari kearifan lokal tetap harus dipertahankan, terutama sifat rendah hati dan eratnya nilai kekeluargaan di Kei Besar. Selain itu, semakin berkembang suatu daerah, maka semakin besar potensi kerusakan alam akibat mobilitas manusia dan geliat industri yang meningkat. Kei Besar dengan kondisi alamnya yang sangat permai tetaplah harus dilindungi karena itulah salah satu sumber daya utama mereka. Namun, kemudahan berkomunikasi dengan masyarakat di luar pulau tetap sangat dibutuhkan untuk meningkatkan wawasan dan kepercayaan diri generasi muda Kei Besar dalam mengembangkan aspirasi mereka.

Berfoto bersama siswi-siswi SMK Kasih Theresia di Ohoi Bombay
Sumber: Dokumentasi Kontributor

Aku telah melihat secara langsung adanya minat generasi muda Kei Besar untuk terhubung dengan generasi mereka di lain tempat. “Hello, my name is Aleks, I come from Watsin City,” kata Aleks suatu saat dalam sesi belajar bahasa Inggris harian kami. Watsin City? Itu mungkin ada dalam angan-angannya. Keinginan untuk meningkatkan kehidupan, meski hanya setitik, tentu ada dalam hati generasi muda Kei Besar. Di luar peran pemerintah, komunitas pendidikan dapat menggalakkan program pertukaran dengan tujuan membangun interaksi sosial yang lebih luas. Melalui inisiatif-inisiatif semacam ini, wajar jika kita berharap akan tumbuh jembatan baru dari berbagai arah. Jembatan bagi generasi penerus Kei Besar untuk saling berbagi hal positif dan menjadikan mereka generasi yang lebih bijak dalam mengambil keputusan. Tantangan bagi generasi muda Kei Besar adalah bagaimana komunitas mereka semakin maju tanpa mengorbankan kearifan lokal dan kelestarian alamnya. Dan untuk menjawab tantangan tersebut, banyak pelajaran dapat dipetik dari beragam contoh keberhasilan di luar Kei Besar.

Generasi muda Pulau Kei Besar berhak memperoleh akses terhadap pendidikan dan beragam penunjang layaknya di berbagai penjuru Indonesia lainnya—tidak peduli apakah mereka di lokasi terpencil maupun di perkotaan. Kondisi Kei Besar adalah cermin kondisi daerah lain yang juga terpencil dan cenderung sulit untuk dijangkau. Namun, Indonesia saat ini memiliki cukup banyak kompetensi di skala nasional. Tidak terbatas hanya dalam bidang teknologi telekomunikasi dan informasi, masyarakat Indonesia memiliki banyak komunitas yang selama ini telah berhasil melakukan terobosan untuk meningkatkan kualitas dalam beragam aspek kehidupan. Hal ini membuatku yakin, asalkan kita semua benar-benar mengusahakannya, Indonesia pasti bisa memperbaiki kehidupan di daerah-daerah yang masih tertinggal. Mulailah dari aspek pendidikan sebagai target awal, maka nantinya kebangkitan menggeliat dari dalam masyarakat itu sendiri. Kesetaraan pendidikan dan kesempatan adalah impian anak-anak desa: mimpi yang aku sampaikan sebagai kawan mereka, sesama anak Indonesia.

***

Kategori: Artikel