Kontributor: Cindy Marsitaully

Dunia ini pasti mengalami perubahan. Berbagai aspek kehidupan tidak luput dari perubahan, termasuk ekonomi. Kamu mungkin pernah mendengar tentang inflasi dan resesi. Keduanya adalah sedikit contoh dari dinamika ekonomi yang menimpa berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Kenaikan harga-harga bahan pokok sudah mulai terasa di sekitar kita sehingga mulai memunculkan keresahan di masyarakat. Lalu, seperti apa sih situasi ekonomi Indonesia di masa lampau? Apakah situasi yang tidak pasti ini, pertama kali dialami Indonesia? 

Buku ‘Ekonomi Indonesia 1800-2010: Antara Drama dan Keajaiban Pertumbuhan’ karya Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks berusaha menjawab pertanyaan mengapa Indonesia sebagai negara dengan sumber daya alam yang kaya tidak memperoleh keuntungan dari pertumbuhan ekonomi dunia selama abad 19 sampai 20. Mengapa Indonesia tetap lebih miskin bila dibandingkan dengan rata-rata negara berkembang, dan jauh lebih miskin dibandingkan pemimpin-pemimpin produktivitas dalam perekonomian dunia? Pada buku tersebut dikatakan bahwa Indonesia adalah contoh negara yang memiliki kinerja pertumbuhan ekonomi yang tidak menentu (erratic), tidak berkesinambungan, namun menarik untuk dipelajari agar dapat menjadi bahan evaluasi untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Mereka juga menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut, yang dapat digolongkan menjadi faktor proximate (perkiraan) dan ultimate (sesungguhnya). Faktor proximate berdasar pada anggapan bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh faktor-faktor pendukung seperti modal fisik dan sumber daya manusia serta pertumbuhan produktivitas, sementara faktor ultimate mencakup geografi, perdagangan dan lembaga.

Peta Hindia Belanda
Sumber: Koleksi Museum Kebangkitan Nasional

Indonesia secara geografis berada pada posisi yang sangat strategis. Narasi ini mungkin sering kita dengar, karena memang Indonesia diuntungkan oleh faktor ini. Posisi Indonesia yang menjadi jembatan antara Benua Asia dan Australia sampai sekarang masih memberi manfaat bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selain itu, Sumber Daya Alam yang melimpah juga menjadi faktor yang mendukung terjadinya keajaiban pertumbuhan ekonomi di Indonesia, yang diberkahi dengan keanekaragaman sumber daya dan didukung oleh posisi geografis yang strategis. Bukankah semestinya Indonesia punya cukup alasan untuk bertumbuh dengan pesat secara ekonomi? Menurut Collier, yang dikutip oleh van Zanden dan Daan Marks, negara yang seringkali bergantung pada sumber daya primer tanpa sadar terjangkit ‘penyakit Belanda’ (Dutch Disease).

Faktor-faktor lainnya seperti pertumbuhan produktivitas, sumber daya manusia, perdagangan dan lembaga terus mengalami dinamika. Hal inilah yang menjadi beberapa penyebab pertumbuhan ekonomi yang tidak berkesinambungan. Untuk memahami alasannya, kita akan melihat sejarah perekonomian Indonesia pada awal kemerdekaan, saat mengalami krisis finansial Asia, hingga masa pandemi dan pemulihan pasca pandemi.

ERA KOLONIALISME – KRISIS FINANSIAL ASIA 1998
Di masa penjajahan, Nusantara berada di bawah kendali VOC dan pemerintahan kolonial Belanda. Menurut Ricklefs dan Locher-Scholten, yang dikutip oleh Anne Booth, kedatangan Belanda di Nusantara tidak hanya untuk tujuan ekonomi yaitu mengeksploitasi rempah-rempah. Adanya dinamika sosial-politik membuat pemerintah kolonial memiliki kepentingan untuk menekan pergerakan masyarakat bumiputra dan kemungkinan intervensi dari bangsa penjajah lain, sehingga mereka memperluas wilayah jajahan. Mereka berhasil menerapkan sistem politik adu domba (divide et impera) sehingga mampu menguasai berbagai lini kehidupan masyarakat Hindia Belanda. Mereka juga menetapkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan bagi kepentingan mereka sendiri.

Sistem tanam paksa (cultuurstelsel) misalnya, sebuah kebijakan Gubernur van Den Bosch yang memaksa masyarakat sejak tahun 1830 untuk menanam tanaman ekspor pada seperlima dari lahan mereka dan menyerahkan seperlima hasil tanaman ekspor mereka. Kebijakan ini ada sebagai akibat dari kegagalan VOC dan hutang Belanda akibat perang. Pemerintahan van Den Bosch harus memanfaatkan Nusantara sebagai wilayah jajahan agar dapat menghasilkan pemasukan bagi Belanda. Kebijakan ini membuat masyarakat bumiputra sangat menderita karena pada praktiknya, petani dipaksa menanam hampir setengah dari lahannya untuk komoditas ekspor (produktivitas). Harga jual (perdagangan) diatur oleh pemerintah Belanda sehingga petani kesulitan menanam tanaman pangan untuk bertahan hidup. Belum lagi kewajiban membayar pajak. Sumber daya manusia, baik dari tenaga kerja maupun pemangku kepentingan (lembaga) masih berada di bawah kontrol pemerintah Belanda. Tak pelak, angka kemiskinan dan kesulitan pangan meningkat. 

Kebijakan van Den Bosch ini menuai banyak protes, bahkan dari kalangan masyarakat Belanda itu sendiri. Hal inilah yang kemudian memunculkan politik etis. Kebijakan politik yang dikeluarkan pemerintah Belanda untuk membalas budi terhadap masyarakat bumiputra. Kebijakan ini ternyata berperan penting bagi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Lewat pendidikan, lahir generasi muda yang sadar bahwa Indonesia harus menyatukan kekuatan untuk memperjuangkan kemerdekaan. Bangsa Indonesia harus berjuang untuk merebut kemerdekaannya sebelum akhirnya dapat mengendalikan ekonominya sendiri. Pada saat itu, berbagai faktor pendorong tumbuhnya ekonomi Indonesia masih dikuasai oleh Belanda.

Indonesia akhirnya dapat memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Namun, Belanda masih berusaha kembali datang ke Indonesia untuk mengembalikan kekuasaan mereka di Nusantara. Kondisi sosial-politik Indonesia terguncang, sehingga faktor ekonomi terabaikan. Pun ketika pihak asing mengakui kemerdekaan Indonesia, kita masih dihadapkan pada berbagai dinamika politik. Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia masih mengembangkan sistem pemerintahannya. Terdapat tiga fase perubahan sistem politik di era kepemimpinan Soekarno yakni fase awal kemerdekaan, demokrasi liberal / demokrasi parlementer, dan demokrasi terpimpin. Akibat pergolakan politik tersebut, pembangunan ekonomi kurang menjadi perhatian. 

Pada era pemerintahan Soeharto, Indonesia berfokus pada pengembangan ekonomi. Hal ini dikarenakan Indonesia saat itu mengalami berbagai gejolak ekonomi, termasuk tingkat inflasi yang mencapai 650%. Berbagai kebijakan dilakukan untuk memperbaiki keadaan ekonomi yang kemudian diaplikasikan dengan APBN berimbang. Kebijakan-kebijakan tersebut juga ditopang oleh berbagai aturan yang dibuat untuk mendukung pelaksanaannya.

Pembangunan ekonomi pada masa pemerintahan Soeharto dapat dibagi menjadi 3 fase. ​​Pemulihan ekonomi (1966-1973); pertumbuhan ekonomi secara cepat dan intervensi Pemerintah yang semakin kuat (1974-1982); dan pertumbuhan yang didorong oleh ekspor dan deregulasi (1983-1996). Kebijakan ekonomi tersebut menghasilkan pertumbuhan ekonomi, keberhasilan pembangunan di berbagai sektor dan bahkan status swasembada pangan. Ekonomi Indonesia kembali terguncang pada akhir 1990-an karena krisis finansial Asia terjadi dan dampaknya juga terasa di Indonesia. Dampak yang paling terlihat adalah melemahnya nilai rupiah terhadap mata uang asing, yang menimbulkan efek domino pada aspek sosial dan politik. Hal ini dapat dilihat pada data perbandingan PDB dan Inflasi dari tahun 1996-1998 sebagaimana berikut:

Sumber: Kutipan Indonesia Investments dari buku Hill, H. (2000). The Indonesian Economy, h. 264

ERA PANDEMI COVID-19 DAN PASCA-PANDEMI
Pada akhir 2019, terjadi suatu fenomena yang tidak pernah diprediksi sebelumnya. Wabah Covid melanda berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia yang mengkonfirmasi kasus pertamanya pada 2 Maret 2020. Berdasarkan data dari arcgis.com, hingga 19/07/2022 tercatat ada 6,138,346 total kasus di Indonesia dengan korban jiwa 156,859 orang.

Walaupun secara angka terlihat lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, wabah ini terbukti sanggup mengganggu stabilitas dalam berbagai aspek. Ekonomi adalah salah satu aspek yang cukup terguncang. Banyak upaya yang sudah dilakukan pemerintah untuk menekan angka Covid di Indonesia. Selain bantuan dalam bentuk bahan pokok dan insentif ekonomi, sebanyak 401,308,016 dosis vaksin sudah disalurkan ke masyarakat. Indonesia sebagai negara maritim dengan ribuan pulau memiliki tantangan terkait transportasi dan distribusi logistik, sehingga menjadi kendala dalam pendistribusian vaksin maupun bantuan insentif ekonomi dari pemerintah.

Sumber: lipi.go.id

Dampak ekonomi dari berhentinya aktivitas masyarakat akibat kebijakan lockdown dapat diibaratkan sebagai efek domino. Kebijakan tersebut membuat pemerintah harus membatasi kegiatan dan mobilitas masyarakat. Dalam sebuah survei yang dilakukan LIPI bekerjasama dengan FEUI mengatakan bahwa sebanyak 39,4 persen usaha terhenti. Hal ini menimbulkan dampak lanjutan seperti PHK massal. Oleh karena itu, daya beli masyarakat menurun dan pertumbuhan ekonomi pun terhambat. 

Berdasarkan penelitian yang dilakukan UNICEF, masyarakat merasakan efek domino dari banyaknya usaha yang gulung tikar. Data menunjukkan sebanyak 74.3% responden berkurang pendapatannya selama Oktober dan November 2020 jika dibandingkan dengan Januari 2020. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia membuat Program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional). Sebagaimana dilansir dari pernyataan Menteri Keuangan, Indonesia kembali menerapkan lockdown atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) saat varian Delta muncul. Dalam kurun waktu dua minggu, pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama tahun 2021 sangat terdampak.

Barulah pada pertengahan 2022, tepatnya 4 Mei, angka positif Covid mencapai angka terendah yakni 107 kasus baru. Seiring dengan tren penurunan tersebut, pemerintah mulai melonggarkan protokol kesehatan di masyarakat. Aktivitas luar ruangan mulai berjalan, begitu pula dengan kegiatan perekonomian yang sudah lebih lancar.

EKONOMI INDONESIA DI TENGAH DINAMIKA EKONOMI GLOBAL
Masyarakat yang baru saja kembali ke kebiasaan lama dalam beraktivitas maupun kegiatan ekonomi lagi-lagi harus berhadapan dengan tantangan. Pasalnya, situasi ekonomi di Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh situasi ekonomi global. Inflasi ekonomi di US (tertinggi selama 40 tahun terakhir) dan situasi perang Rusia-Ukraina adalah contohnya. Dampak ekonomi global yang kita alami adalah kenaikan harga bahan pokok dan PHK di berbagai sektor usaha. Menurut Menteri Keuangan (kemenkeu.go.id), apabila negara-negara adidaya seperti Amerika dan China mengalami gejolak, dampaknya akan terasa pula ke seluruh dunia.

Kebijakan lockdown di China, menurut Sri Mulyani, tentu mempengaruhi supply chain (permintaan barang) global. Permintaan yang tinggi, namun jika tidak dibarengi dengan pasokan yang memadai akan menimbulkan kenaikan harga. Faktor lain adalah Perang Rusia-Ukraina yang mengganggu kinerja perdagangan negara Indonesia. Ekspor dan impor terpengaruh, sehingga mengancam ketersediaan komoditas dan fluktuasi harga. Kebijakan bank sentral AS yang secara bertahap menaikkan suku bunga juga menjadi pemicu krisis ekonomi global.

Inflasi, sama seperti banyak hal lainnya, memiliki dua sisi positif dan negatif. Sisi negatifnya dapat membuat keadaan bergejolak di masyarakat bahkan sampai mengarah ke kriminalitas, seperti yang pernah terjadi di Indonesia pada 1998. Sedangkan untuk sisi positifnya, situasi ini dapat memunculkan fenomena orang kaya baru dan pada saat yang bersamaan juga menunjukkan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan daya beli. 

Di Indonesia sendiri, menurut BPS, inflasi sudah berada di angka 4.35% jika dibandingkan dengan Juni tahun lalu. Angka ini melampaui target pemerintah dan Bank Indonesia (BI), yakni maksimal 4%. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan pertama 2022 sebesar 5,01% jika dibandingkan dengan triwulan pertama 2021. Angka ini masih di atas angka pertumbuhan China, yakni 4.8%.

Diolah dari berbagai sumber (Trading Economics & BPS)

Seperti apapun dinamika ekonomi yang kita hadapi, ingatlah bahwa selalu ada kesempatan dalam kesulitan. Cara kita merespon setiap tantangan hari ini, akan menentukan diri kita di masa depan. Pelajari apa yang bisa kita kontribusikan untuk kepentingan bersama sehingga kita bisa bangkit bersama, bangkit lebih kuat. Sesuai dengan motto kepresidenan G20 Indonesia, recover together, recover stronger.

Sumber: Data BPS untuk tahun 2021

EKONOMI INDONESIA DALAM MASA BONUS DEMOGRAFI

Indonesia saat ini sedang memasuki masa bonus demografi, yang ditandai dengan dominasi kelompok umur produktif dominan yakni sebanyak 58.7%. Hal ini dapat berdampak positif maupun negatif terhadap ekonomi. Dampak positif dapat dirasakan hanya apabila pembangunan Sumber Daya Manusia cukup memadai, sehingga penduduk yang berada di usia produktif dapat menyumbangkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, perlu sinergi yang baik antara pemerintah dengan masyarakat agar dapat memanfaatkan bonus demografi. Namun apabila bonus demografi ini tidak dapat dimanfaatkan, situasi ini dapat menjadi bencana demografi. Bukannya menyumbang pertumbuhan ekonomi, justru menjadi beban ekonomi negara. Hal itu dapat terjadi jika penduduk usia produktif yang dominan tidak dibekali dengan skill yang sesuai kebutuhan zaman dan ketersediaan lapangan pekerjaan.

Salah satu hal yang bisa kita lakukan untuk setidaknya menolong diri sendiri melewati masa krisis ekonomi adalah lewat edukasi. Kelompok usia produktif harus paham mengelola keuangan agar dapat menghadapi berbagai dinamika ekonomi, serta mempersiapkan masa depan dengan sebaik-baiknya. Itulah mengapa pemerintah Indonesia sedang gencar meningkatkan literasi finansial. Sejumlah lembaga ekonomi berusaha membuat berbagai macam program untuk mempercepat pemerataan literasi finansial di Indonesia. Lewat program ini, kita bisa menggunakan kesempatan ini untuk bangkit melewati krisis ekonomi bersama-sama.

Sumber:
Aninsi, Niken. “Mengenal Riwayat Sistem Tanam Paksa Di Indonesia.” Nasional Katadata.co.id, December 17, 2021. https://katadata.co.id/intan/berita/61bcbbc298578/mengenal-riwayat-sistem-tanam-paksa-di-indonesia. 
ArcGIS dashboards. CSSE at John Hopkins University, July 19, 2022. https://www.arcgis.com/apps/dashboards/bda7594740fd40299423467b48e9ecf6. 
Badan Pusat Statistik. “Inflasi Terjadi Pada Juni 2022 Sebesar 0,61 Persen. Inflasi Tertinggi Terjadi Di Gunungsitoli Sebesar 2,72 Persen.” Badan Pusat Statistik, July 1, 2022.
https://www.bps.go.id/pressrelease/2022/07/01/1862/inflasi-terjadi-pada-juni-2022-sebesar-0-61-persen–inflasi-tertinggi-terjadi-di-gunungsitoli-sebesar-2-72-persen-.html.
Booth, Anne. “Introduction.” Introduction. In The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Centuries a History of Missed Opportunities, 2. Basingstoke: Palgrave Macmillan, 1998. 
China Terapkan Lockdown, Menkeu: Spill Over-Nya Ke Seluruh Dunia. Kementerian Keuangan, April 22, 2022. Kementerian Keuangan. https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/china-terapkan-lockdown-menkeu-spill-over-nya-ke-seluruh-dunia/.
Humas LIPI. Rep. Survei Dampak Darurat Virus Corona Terhadap Tenaga Kerja Indonesia. LIPI dan Badan Litbang Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan dan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, May 19, 2020.
http://lipi.go.id/berita/single/Survei-Dampak-Darurat-Virus-Corona-terhadap-Tenaga-Kerja-Indonesia/22030. 
Kemenkeu. “China Terapkan Lockdown, Menkeu: Spill over-Nya Ke Seluruh Dunia.” Kementerian Keuangan, April 22, 2022. https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/china-terapkan-lockdown-menkeu-spill-over-nya-ke-seluruh-dunia/. 
Rep. Analysis of the Social and Economic Impacts of COVID-19 on Households and Strategic Policy Recommendations for Indonesia. UNICEF, UNDP, Australia Indonesia Partnership for Economic Development (or Prospera) and The SMERU Research Institute, May 2021. http://data-unicef.id/cc-content/themes/cicool/asset/survey/Analysis_of_the_Social_and_Economic_Impacts_of_COVID-19_on_Household_and_Strategic_Policy_Recommendations_for_Indonesia.pdf. 
van, Zanden J L, and Daan Marks. Ekonomi Indonesia, 1800-2010: Antara Drama Dan Keajaiban Pertumbuhan. Translated by Abdul Wahid. Jakarta, Indonesia: Penerbit Buku Kompas, 2012.

Kategori: Artikel