K.H Ahmad Dahlan yang memiliki nama asli Muhammad Darwis merupakan tokoh pahlawan asal Desa Kauman, Yogyakarta, yang lahir pada 1 Agustus 1868. Beliau juga pendiri organisasi Muhammadiyah dan seorang suami dari Siti Walidah yang juga merupakan seorang tokoh pahlawan perempuan dan pendiri Aisiyah. Darwis kecil hidup dalam lingkaran keluarga dan sosial yang sejahtera serta ramah tamah sehingga beliau menjadi seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya dan berakhlak suci. Ketika muda, ia telah dikenal sebagai seorang yang santun dan peduli kepada masyarakat kelas bawah. Ia juga merasa prihatin dengan kondisi masyarakat yang sangat terhegemoni dengan suatu kepercayaan mistik, dan pada saat itu pula, agama Islam dikenal oleh orang-orang Belanda sebagai agama mistik. Hal tersebut menjadi semangatnya dalam upaya memperbarui pergerakkan serta memurnikan kembali ajaran Islam kepada ajaran yang sesungguhnya. Sehingga ia bertekad untuk mendirikan madrasah yang mampu menumbuhkan semangat perjuangan dan tentunya menjadi titik balik ajaran yang telah tercemar oleh berbagai hal mistik yang dikenal sebagai TBC (Takhayul, Bid’ah, Khurafat) menjadi murni seperti lahiriahnya.

Desa kelahirannya merupakan desa yang sejak zaman kerajaan telah menjadi tempat bernaungnya para 9 penghulu agama yang ditugaskan oleh keraton untuk membawahi persoalan keagamaan. Desa yang juga menjadi desa kelahiran organisasi Muhammadiyah, telah bertransformasi menjadi desa maju dengan arsitekrut yang dibangun dengan corak timur maupun barat. Sehingga jika kita berkunjung ke sana, kita akan menemukan berbagai keindahan dan ketenangan di dalamnya. Dan para pejuang kemerdekaan yang telah gugur dalam medan pertempuran, dikenang oleh masyarakat setempat dengan sebuah monumen perjuangan yang menandakan gugurnya para pejuang dari Kauman yang dianggap sebagai Syuhada.

Di usia 15 tahun, beliau berkesempatan untuk pergi ke Makkah guna menunaikan Haji dan menimba ilmu agama. Di sana beliau belajar dengan tokoh-tokoh pembaharu Islam yang tersohor di dunia seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridho dan Ibnu Taimiyah. Sekembalinya beliau dari Makkah, ia membawakan suatu pembaharuan yang progresif serta reformis dan ditandai dengan berhasilnya ia mendirikan langgar belajar untuk masyarakat di sana dan berupaya untuk membenahi arah kiblat yang selama ini sangat melenceng dari atah kiblat yang sebenatnya. Di indonesia sendiri, ia juga belajar kepada HOS Tjokroaminoto dan beberapa ulama tersohor pada zamannya.

Dalam upayanya membenahi arah kiblat masjid, beliau mendapatkan pertentangan sangat keras dari para kaum agamawan di sana. Perdebatan tak khayal terjadi pada persoalan tersebut, hingga suatu malam beberapa remaja yang setelahnya menjadi murid yang juga belajar di langgarnya dan menjadi pengikut setianya hingga berdirinya Muhammadiyah, mengubah arah kiblat secara sembunyi-sembunyi. Hal ini menjadikan permasalahan semakin besar. Sehingga pada akhir 1897 atas kesepakatan para ulama, beliau membentuk majelis musyawarah khusus untuk mengkaji terkait arah kiblat. Namun dari segala rangkaiannya yang telah terselenggarakan, tidak membuahkan hasil yang sesuai dan mengharuskannya turun dari salah satu jajaran khotib masjid Agung Kauman dan karena hal tersebut ia justru lebih giat untuk berdkwah pada aspek-aspek yang lain.

Turunnya beliau dari jabatannya sebaagai khotib masjid Agung Kauman, ia memfokuskan diri untuk mengajar di langgar kidul yang di dirikannya dan mengajarkan berbagai banyak hal terkait tasawuf, islam dan ilmu-ilmu lainnya seperti fiqh maupun akhlak kepada para muridnya. Beliau juga menjadi pengajar sekolah sekuler yang didirikan oleh Belanda untuk mengajarkan agama Islam untuk menyebarluaskan serta memurnikan ajaran agama Islam yang dianggap mistik. Namun, gerakan dakwah yang dilakukannya pun tidak disukai dan dicurgai menyebarkan paham yang melenceng dari pemahaman para ulama di Kauman. Sehingga, tak beberapa lama berselang, Kiai penghulu Haji Chalil Kamaluddiningrat beserta pengikutnya merubuhkan langgarnya. Selain itu pula, karena ia juga mengajar di sekolah sekuler Belanda, Ia selalu dimaki setiap kali jalan di jalan perkampungan kauman dengan sebutan “Kiai Kafir”. Namun, perjuangannya tidak pernah berhenti sampai di situ. Di samping ia memiliki pengikut yang setia kepadanya, ia juga memiliki istri yang selalu mendukung dan menguatkannya dalam usahanya menyebarkan dakwah islam yang berkemajuan.

Pada tahun 1909 ia resmi bergabung ke dalam organisasi Boedi Oetomo dan memiliki misi untuk berdakwah di dalamnya. Hal tersebut disambut dengan baik karena para anggota Boedi Oetomo merupakan pelajar yang terbuka juga pikirannya. Pada tahun 1910, ia resmi masuk kedalam organisasi Jami’at Khair yang berfokus pada perkembangan terkait Islam di dunia dan alasan ia masuk kedalam organisasi tersebut juga karena ia tidak ingin ketinggalan informasi dan perkembangan terkait Islam. Lalu pada tahun 1911, ia resmi mendirikan madrasah di Yogyakarta dengan sistem pembelajaran mengikuti model pembelajaran orang barat dengan materi didalamnya terkait pengajaran agama Islam dan umum serta murid laki-laki dan perempuan tidak lagi di pisah. Dan pada 18 November 1912, ia resmi mendirikan organisasi Muhammadiyah setelah melalui berbagai proses serta mencari masukan dan dukungan dari banyak pihak.

Perjuangannya dalam memurnikan ajaran agama Islam, telah membuahkan organisasi Muhammadiyah sebagai manifestasi pergerakkan yang bertahan hingga saat ini. Muhammadiyah yang didirikannya bergerak dalam ranah agama, pendidikan, kesehatan dan sosial selain politik dan telah memberikan sumbangsihnya dalam kebangkitan Islam dan pergerakkan kemerdekaan di Indonesia. Menjelang wafatnya, beliau menderita sakit dan masih bergerak untuk menghidupi organisasi Muhammadiyah yang ia dirikan bersama para pengikutnya. Dan pada Jum’at malam, 7 Rajab 134 Hijriah yang bertepatan dengan 23 Februari 1923, K.H Ahmad Dahlan wafat.

Perjuangannya yang pantang menyerah dan selalu dihadapi dengan kelapangan dada, membuat segalanya tidak menjadi sia-sia dan akhirnya ia layak dijuluki sebagai tokoh pencerahan bangsa. Kata-katanya yang terkenal untuk para pengikutnya dan para anggota organisasi Muhammadiyah adalah “Hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di dalam Muhammadiyah”.

Kontributor: Rani Valenda (Mahasiswa Magang Museum Kebangkitan Nasional)

REFERENSI
Adi Nugroho, 2010, K.H. Ahmad Dahlan : Biografi Singkat (1869-1923), Yogyakarta: Garasi.
Moh. Habib Ahsyad, 2019, Ensiklopedi Tokoh Nasional: K.H. Ahmad Dahlan, Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia.
Rohmat Kurnia, 2018, K.H. Ahmad Dahlan: Tokoh Pembaharu Islam, Jakarta: Bee Media Pustaka.  

Kategori: Artikel