Setiap tanggal 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Hari Kesehatan Jiwa Sedunia pertama kali diperingati pada 10 Oktober 1992 yang berasal dari kegiatan tahunan Federasi Dunia untuk Kesehatan Mental (WFMH). Tujuan awalnya adalah untuk mempromosikan advokasi kesehatan mental dan menjadi sarana edukasi publik mengenai hal-hal yang berkaitan dengan isu terkait.
Dikutip dari situs Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, tema global Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2021 adalah “Mental Health in an Unequal World : Kesetaraan dalam Kesehatan Jiwa untuk Semua”. Melalui tema tersebut, semua negara diharapkan dapat memberikan akses layanan yang lebih luas dan lebih besar agar kesehatan mental lebih terjamin dan setara dengan kesehatan fisik lainnya.
Tahukah kalian bahwa ada lulusan STOVIA yang mengabdikan dirinya sebagai psikiatris bumiputra generasi pertama?
Prof. dr. JA Latumeten, begitu ia dipanggil oleh rekan-rekan seperjuangannya, merupakan ahli jiwa generasi pertama. Tak banyak yang bisa diketahui tentang masa kecil pria kelahiran Ambon tahun 1888 itu kecuali dari keluarganya yang merupakan keluarga nelayan. Kendati kehidupan yang dilaluinya begitu keras, Latumeten tidak menyerah dan terus bersemangat dalam bersekolah. Ia akhirnya bisa masuk STOVIA. Setelah lulus dari STOVIA, ia bekerja di Rumah Sakit Jiwa Lawang Malang menjadi asisten dr. PHM Travaglino.
Sambil bekerja, Latumeten kerap mengikuti pertemuan Jong Ambon dan aktif di Asosiasi Dokter Hindia. Pada 1919, organisasi ini menuntut peningkatan status profesional dokter bumiputra. Mereka memprotes pemerintah kolonial yang tidak memberi izin praktik, gaji rendah (lebih rendah dari perawat Eropa), dan beban kerja yang lebih berat dibanding dokter kulit putih. Para dokter bumiputra ditempatkan di pelosok di mana jumlah fasilitas medis amat minim.

(Sumber: Koleksi Museum Kebangkitan Nasional)
Pada Minggu, 2 November 1919, diadakan pertemuan besar yang menghadirkan beragam organisasi nasionalis, seperti Boedi Oetomo, Ambonsch Studiefonds, dan Sarekat Hindia. Dalam pertemuan itu, Latumeten ikut berpidato tentang nasib dokter bumiputra di tengah sikap rasis pemerintah kolonial yang mendarah-daging. Ia mengajak para dokter bumiputra untuk melakukan pemogokan di dinas masing-masing. Ia juga mencemooh kebijakan pemerintah yang melarang dokter bumiputra membuka praktik meskipun sudah mengundurkan diri. “Kalau mereka melarang, anggap saja kami dukun. Tak perlu ada izin,” katanya, disambut tepuk tangan para peserta pertemuan.
Meski aktif dalam gerakan nasionalis, ia tetap bisa mendapat beasiswa dari pemerintah Belanda. Pada 1922, Latumeten berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studinya. Ia bisa dibilang orang Indonesia pertama yang mendalami kesehatan jiwa. Begitu sampai di Belanda Latumeten bergabung dengan Asosiasi Dokter Hindia cabang Belanda, hingga jadi ketua pada 1924. Ia juga aktif di Perhimpunan Indonesia.

Latumeten menerima gelar kedokteran Belanda pada 1924. Setahun berikutnya ia meraih gelar doktoral dalam bidang medis dengan disertasi “Over de Kernen van den Nervus Oculomotorius”. Setelah kembali ke Hindia, Latumeten tak banyak aktif di pergerakan secara politik. Ia lebih fokus pada pengobatan, khususnya untuk kaum bumiputra. Pada 1927 ia menjadi pengawas rumah sakit jiwa di Sabang. Tahun 1936, ia kembali bertugas di Rumah Sakit Jiwa Lawang hingga pendudukan Jepang. Naas menghampirinya pada Mei 1945. Latumeten ditangkap oleh Kenpeitai. Ia dijebloskan ke penjara. Buruknya perlakuan penjara membuatnya hampir mati kelaparan.
Setelah Jepang kalah, ia hampir tak selamat karena di masa revolusi kecurigaan pada orang timur amat tinggi. Orang-orang Maluku Kristen sering dianggap pro-Belanda. Meski sejak dulu Latumeten getol memperjuangkan kemerdekaan Indoensia, karena jabatan tingginya di RSJ Lawang, orang Ambon, dan Kristen, ia sempat jadi tahanan anak-anak muda pro-republik meski tidak lama. Pada awal tahun 1946, Latumeten diangkat menjadi profesor psikiatri di Sekolah Tinggi Kedokteran yang merupakan cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Di usia senjanya, ia masih dipercaya sebagai Inspektur rumah sakit jiwa di Kementerian Kesehatan Indonesia dan anggota Dewan Petimbangan Agung, bersama rekannya sesama dokter, Radjiman Wedjodiningrat. Latumeten tak lama memegang posisi ini. Menurut Pramoedya Ananta Toer dalam Kronik Revolusi Indonesia, perlakuan buruk di penjara Jepang rupanya merusak kesehatannya. Latumeten akhirnya meninggal dunia di Rumah Sakit Perguruan Tinggi Djakarta pada 30 Mei 1948 dalam usia 60 tahun.