Kontributor: Zulfa Nurdina Fitri

Armijn Pane adalah salah seorang pendiri majalah Poedjangga Baroe yang lahir pada 18 Agustus 1908  di Muara Sipongi, Sumatra Utara. Armijn merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara. Ayahnya, Sutan Panguraban Pane, adalah seniman daerah yang membukukan cerita daerah berjudul Tolbok Haleoan. Sutan juga aktivis pergerakan nasional di Palembang. Armijn pernah kecewa kepada ayahnya karena persoalan rumah tangga. Kekecewaan ini barangkali memengaruhi Armijn dalam keputusan-keputusannya, dan membuat ia kerap gelisah. Ditulis oleh Ajip Rosidi dalam bukunya Mengenang Hidup Orang Lain (2010), kegelisahan jiwa Armijn Pane nampak dalam karangan-karangannya, dalam kalimat-kalimatnya, dan dalam jalan pikirannya yang sering dianggap oleh sebagian peneliti sastra Indonesia sebagai ‘meloncat-loncat semaunya saja’. Ajip Rosidi juga menganggap riwayat pendidikan dan karier Armijn yang loncat-loncat sebagai potret kegelisahan jiwa itu.

Awalnya Armijn bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Padangsidempuan dan Tanjungbalai, kemudian pindah ke Europeesche Lagere School (ELS) Sibolga dan Bukittinggi. Ia melanjutkan pendidikan menengahnya ke School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) Batavia pada 1923, namun karena  minatnya tertumpu pada bahasa dan sastra, ia pindah ke Algemene Middelbare School (AMS) Surakarta mengambil jurusan sastra klasik Barat dan lulus pada 1931. Sebagai pelajar di Surakarta, ia bergabung dengan organisasi pemuda nasional yakni Indonesia Muda, namun politik tampaknya kurang menarik minatnya daripada kesusastraan. Saat itu ia memulai kariernya sebagai penulis dengan menerbitkan beberapa puisi nasionalis, hingga dua tahun kemudian menjadi salah seorang pendiri majalah Poedjangga Baroe. Kelahiran Poedjangga Baroe sebagai representasi semangat baru dalam kesusastraan Indonesia adalah hasil pergulatan yang intens antara Sutan Takdir Alisjahbana dengan Armijn Pane melalui halaman-halaman majalah Pandji Poestaka. Mulai Maret 1932, majalah tersebut menyediakan rubrik bernama “Memadjoekan Kesoesastraan” yang ditujukan sebagai saluran bagi munculnya gaya penulisan non-tradisional. Rubrik tersebut diasuh Sutan Takdir Alisjahbana yang menjabat sebagai staf pada Balai Pustaka sejak 1930. Pada Agustus 1932, Armijn Pane mulai menampilkan sajak-sajaknya di ruang asuhan Takdir tersebut. Keith Foulcher dalam bukunya Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942 (1991) mengatakan bahwa Takdir melihat ciri tentang pengarang yang cocok dengan pandangannya tentang seniman Indonesia modern pada Armijn Pane. Berlainan dengan sajak-sajak lain yang dimuat dalam ‘Memadjoekan Kesoesastraan’ yang tampak dibuat-buat dan penuh retorika tiruan, puisi Armijn Pane kelihatan sederhana dan langsung, namun dengan susunan bahasa dan eksperimen teknis yang rapi.

Majalah Poedjangga Baroe

Semula Takdir hendak mengedepankan pembentukan organisasi pengarang, namun Armijn tidak setuju. Menurutnya, perkumpulan tanpa media akan kecil sekali peluangnya untuk mencapai tujuan. Pemilihan kata “pujangga” dari Armijn Pane, menurut Maman S. Mahayana dalam Kitab Kritik Sastra (2015), adalah semangat pembaruan dan hendak memosisikan sastra sebagai seni yang dekat dengan rakyat, bukan malah sebaliknya. Armijn Pane menjelaskan hal ini dalam artikelnya yang dimuat Soeara Oemoem pada 3 Mei 1933, “Kami tidak menyebut diri kami penyair, tapi pujangga. Juga bukan bujangga. Kami tidak menyebut hasil jiwa kami syair dan pantun, tapi sajak dan puisi.”

Selain itu, dalam bidang karier Armijn Pane juga pernah menjadi wartawan surat kabar Soeara Oemoem di Surabaya (1932), mingguan Penindjaoean (1934), kemudian surat kabar Bintang Timoer (1935). Setelah itu, Armijn menjadi wartawan lepas. Karier Armijn Pane di Poedjangga Baroe juga tidak lama, yaitu menjadi sekretaris dan redaktur majalah tahun 1933—1938.  Namanya juga tercatat sebagai sekretaris Kongres Bahasa Indonesia I pada 1938. Ia juga sempat menjadi pamong Taman Siswa di Kediri, Malang, dan Jakarta pada 1932—1934. Menjelang Jepang masuk ke tanah air, pada 1936, ia pernah menjabat sebagai redaktur Balai Pustaka.

Surat Kabar Bintang Timoer

Saat pendudukan Jepang, Armijn Pane beserta Sanusi Pane bekerja di Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan). Bersama Usmar Ismail, Idrus, Cornel Simandjuntak, dan lain-lain, ia menulis sandiwara-sandiwara dan lagu-lagu yang sesuai dengan kebutuhan propaganda Jepang. Golongan ini bersimpang jalan dengan para pengarang muda seperti Amal Hamzah dan Chairil Anwar. Drama satire “Tuan Amin” karangan Amal Hamzah yang dimuat di Pembebasan Pertama konon merupakan karikatur Armijn Pane.

Armijn Pane juga sempat menjadi penganjur di Balai Bahasa Indonesia dan Sekretaris Komisi Istilah, serta menjadi penganjur dan sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia yang kemudian menjadi Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) tahun 1950—1955, serta redaktur majalah Indonesia pada 1948—1955.

Karya Armijn Pane

Armijn Pane juga bernama Ammak, Ananta, Anom Lengghana, Antar Iras, AR., A.R., Ara bin Ari, dan Aria Indra. Nama itu ia gunakan dalam majalah Pedoman Masyarakat, Poedjangga Baroe, dan Pandji Islam.  Di samping itu, ia mempunyai nama samaran Adinata, A. Jiwa, Empe, A. Mada, A. Panji, dan Kartono.

Novelnya yang terkenal, Belenggu, terbit pertama kali tahun 1940 dalam majalah Poedjangga Baroe. Novel ini mendapat reaksi yang hebat dari kalangan peneliti dan pengamat sastra Indonesia. Karyanya yang lain adalah Djiwa Berdjiwa (kumpulan puisi, diterbitkan sebagai nomor istimewa majalah Poedjangga Baroe, 1939), Kisah Antara Manusia (kumpulan cerpen, 1953), Djinak-Djinak Merpati (kumpulan drama, 1954), Gamelan Djiwa (kumpulan puisi, 1960). Cerpennya antara lain “Pujaan Cinta” dalam Pandji Poestaka, No. 11, Tahun 1932, “Sukma” dalam Poedjangga Baroe No. 6, 7, 9 Tahun 1934/1935, “Pertemuan Rasa” dalam Poedjangga Baroe No. 5, Tahun 1932; “Barang Tiada Berharga” dalam Poedjangga Baroe No. 4 dan 5 Tahun 1935, “Kulit Pisang” dalam No. 1 Ä 2 Tahun 1935, dan “Jika Pohon Jati Berkembang” dalam Pandji Poestaka, No. 97 Tahun 1937.

Kumpulan Sajak Gamelan Djiwa

Puisinya antara lain “Kapan Datang” terbit dalam Pandji Poestaka No. 70, Tahun 1932, “Kembang Setengah Jalan” dalam Pandji Poetska Baroe No. 85, Tahun 1932, “Menimbulkan Kenangan” dalam Pandji Poestaka No. 75, Tahun 1932, “Masgul” dalam Poedjangga Baroe No. 4, Tahun 1933; “Hamba Buruh” dalam Poedjangga Baroe No. 3, Tahun 1934, “Di Bawah Riak Alun Senyummu” dalam Poedjangga Baroe No. 7 Ä 8 , Tahun 1939, “Bintang Merdeka” dalam Djawa Baroe No. 19, Tahun 1944, “Pasti Berkibar” dalam Djawa Baroe No. 19, Tahun 1944, “Pedomanku” dalam Keboedajaan Timoer No. 2 Tahun 1944, dan “Rindu di Tepi Danau Sarangan” dalam Indonesia No. 11 dan 12 Tahun 1949.

Armijn juga banyak menulis drama pada masa sebelum perang. Armijn banyak mengambil latar belakang kenyataan hidup zamannya. Berdasarkan cerpennya “Barang Tiada Berharga” ia membuat drama “Lukisan Masa”. Drama yang ditulisnya pada masa Jepang dibukukan dalam Djinak-Djinak Merpati, berdasarkan roman I Gusti Nyoman Pandji Tisna, ia menghasilkan drama “I Swasta Setahun di Bedahulu”, dan berdasarkan cerita M.A. Salmun dalam bahasa Sunda ia menghasilkan drama “Nyai Lenggang Kencana” yang mengambil cerita masa silam. Drama “Antara Bumi dan Langit” ditulis sesudah proklamasi kemerdekaan yang mempermasalahkan kedudukan kaum Indo di alam Indonesia merdeka. Selain karya kreatif, Armijn Pane juga menulis esai tentang sastra yang tersebar di berbagai majalah yang belum dibukukan, di antaranya “Mengapa Pengarang Modern Suka Mematikan?” dalam Poedjangga Baroe No. 8 Tahun 9, “Seniman, Pujangga, dan Masyarakat” dalam Spektra No. 1 Tahun 1. Dalam bahasa Belanda ia menulis Kort Overzicht van de Moderne Indonesische Literatuur (1949) dan Sandjak-Sandjak Muda Mr. Mohammad Jamin (1954). Buku terjemahannya antara lain adalah Tiongkok Zaman Baru, Sedjarahnja: Abad ke-19 Sekarang (1953), Membangun Hari Kedua (novel karya Ilya Ehrenburg, 1956), dan Habis Gelap Terbitlah Terang (karya R.A. Kartini, 1968). Buku sadurannya, antara lain, adalah Ratna (drama karya Hendrik Ibsen, Nora, 1943). Tahun 1969 Armijn Pane menerima Hadiah Tahunan dari Pemerintah Republik Indonesia.

Salah Satu Buku Terjemahan Armijn Pane

Pandangannya tentang kesusastraan tampak dalam tulisannya yang dimuat majalah Poedjangga Baroe No. 1, Tahun I 1933 yang intinya adalah bahwa pengarang sebagai hamba seni adalah hamba sukmanya. Jadi, seni pesanan bukanlah seni yang menghamba kepada sukma. Dalam tulisannya yang berjudul “Kesusastraan Baru Yang Kuno dan Yang Baru” dalam Poedjangga Baroe Nomor 2, Armijn Pane menyatakan, “Kami tiada hendak mempertahankan form yang lama, kami tiada hendak bernyanyi, berseloka, bergurindam seperti moyang kami, kami hendak menimbulkan form baru yang sepadan dengan semangat masyarakat kami yang senantiasa berubah-ubah itu, yang senantiasa berjuang itu. Kami hendak menimbulkan form baru yang sesuai dengan roh perjuangan bangsa kami ke arah kemerdekaan”.

Armijn Pane, salah seorang di antara sejumlah kecil pengarang yang sebenarnya terus-menerus menghasilkan tulisan kreatif sepanjang jangka waktu yang mencakup sebagian daripada kedua zaman. Baik dari segi kerohanian maupun dari segi bentuk, Armijn Pane merupakan tokoh yang paling modern di kalangan Pujangga Baru, seorang pelopor kegiatan sastra yang meletus pada zaman revolusi. Ia menjadikan bahasa Indonesia yang digunakannya berbeda dari bahasa Melayu sehingga bahasanya kadang-kadang dikritik sebagai “bahasa Belanda dengan kata-kata Melayu”, yang tidak dapat dipahami oleh orang yang tahu berbahasa Melayu, tetapi tidak tahu berbahasa Belanda. Ia mencoba menggunakan bahasa sehari-hari dalam membicarakan manusia dan dengan demikian karyanya secara jelas merupakan prakata bagi penulis sesudah perang. Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia berkomentar bahwa gaya bahasa Armijn sangat bebas dari struktur bahasa Melayu. Dalam karangan-karangannya, ia lebih banyak melukiskan gerak kejiwaan tokoh-tokohnya daripada gerak lahirnya. Inilah yang terutama membedakan Armijn dengan para pengarang sezamannya. Oleh karena itu, beberapa orang penelaah sastra Indonesia menganggap ia sebagai pendahulu angkatan sesudah perang, paling tidak dianggap sebagai “missing link” antara para pengarang sebelum dan sesudah perang.

Sosok Armijn Pane

Dalam bukunya Puisi Indonesia Modern (1987:77) Ajip Rosidi menyatakan bahwa percobaan menulis sajak tentang hal sehari-hari dilakukan Armijn Pane dalam tahun 1930-an. Sajak-sajaknya yang terkumpul dalam “Djiwa Berdjiwa” penuh semangat perjuangan bangsa, tetapi dalam “Gamelan Djiwa” memperlihatkan keberanian penyairnya untuk melukiskan keadaan nyata sehari-hari dengan mempergunakan kata sehari-hari. Selanjutnya, Rosidi (1987:79) menegaskan bahwa percobaan Armijn Pane seperti itu membawakan kesadaran bahwa sajak pun dapat mengenai hal sehari-hari dan tidak semata-mata bertalian dengan perasaan-perasaan yang mulia sifatnya. Dengan demikian, ia memberikan jalan kepada penulis sajak yang mengambil tema seperti itu oleh para penyair muda sesudah perang, seperti M. Husseyn Umar, Toto Sudarto Bachtiar, Muhammad Ali, dan Sobron Aidit.

Di tahun-tahun akhir masa hayatnya, Armijn masih mengerjakan beberapa karya. Menurut penuturannya kepada Ajip saat bertemu di pengujung 1969, ia tengah mengerjakan tiga buah roman: sebuah tentang kehidupan tahun 1927-an, yang kedua tentang kehidupan tahun 1935-an, dan yang satu lagi tentang keadaan sekarang. Belum sempat menyelesaikan karyanya, Armijn Pane wafat pada 16 Februari 1970, pukul 10.00, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dalam usia 62 tahun. Ia mengalami pendarahan otak dan tidak sadarkan diri selama dua hari. Tempat peristirahatannya yang terakhir ada di pemakaman Karet, Jakarta, berdampingan dengan makam kakaknya, Sanusi Pane, yang meninggal satu tahun sebelumnya.

Sumber:
Foulcher, Keith. 1991. Pujangga baru : kesusastraan dan nasionalisme di Indonesia 1933-1942. Jakarta: Girimukti Pasaka.
Mahayana, Maman S. 2015. Kitab Kritik Sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Rosidi, Ajip. 1976. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Binacipta.
Rosidi, Ajip. 1987. Puisi Indonesia Modern: sebuah pengantar. Jakarta: Pustaka Jaya.
Rosidi, Ajip. 2010. Mengenang Hidup Orang Lain: Sejumlah Obituari. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Teguh, Irfan. 2018. Amal Sastra Armijn Pane dan Kegelisahannya. https://tirto.id/amal-sastra-armijn-pane-dan-kegelisahannya-cEzK. Diakses 27 April 2021.
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/node/742. Diakses 27 April 2021.
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Armijn_Pane. Diakses 27 April 2021.

Kategori: Artikel

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder