Kontributor: Yusti Muslimawati

Dengan tumbuhnya semangat nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia, sejumlah peranakan Tionghoa dengan sadar mengambil keputusan untuk memihak kepada kaum nasionalis Indonesia. Mereka percaya bahwa suatu saat Indonesia pasti merdeka!

Imigran Tionghoa terus berdatangan ke Jawa sampai akhir abad 19. Pada waktu itu, pemerintah kolonial memposisikan etnis Tionghoa sebagai golongan penduduk kelas dua. Pemerintah membuat pemukiman khusus Tionghoa untuk membatasi gerak mereka. Orang – orang Tionghoa mendapat perlakuan diskriminasi sosial, hukum, bahkan aktivitas ekonomi. Diskriminasi dan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia menyebabkan lahirnya suatu gerakan yang menuntut adanya persamaan hak dengan orang-orang Eropa. Ditambah dengan penolakan terhadap undang-undang kewarganegaraan Belanda tahun 1910, yang menyatakan bahwa setiap orang yang dilahirkan di wilayah Hindia Belanda dianggap sebagai Warga Negara Belanda, menjadi pemicu pula pergerakan etnis Tionghoa di Jawa.

Dukungan pemuda Tonghoa untuk kemerdekaan Indonesia tahun 1946.
Sumber : National Geographic Indonesia

Dinamika pergerakan orang-orang Tionghoa mulai diikuti oleh pemerintah Hindia sejak didirikannya Tiong Hoe Hwee Koan (TKKH) pada tahun 1900 sampai lahirnya partai politik orang-orang Tionghoa yang dinamakan Partai Tionghoa Indonesia (PTI).

Tiong Hoa Hwee Koan (THHK)
THHK didirikan oleh orang-orang Tionghoa berpendidikan barat pada tahun 1900. THHK kemudian mendirikan sekolah – sekolah Tiong Hoa Hak Tong (THHT), yang menjadi langkah awal pergerakan Tionghoa di Jawa. Maksud pendirian sekolah THHT yaitu agar anak-anak Tionghoa mendapat pelajaran tentang kebudayaan Cina. THHK juga mendirikan Soe Po Sia, perkumpulan membaca yang menjadi media penyebaran propaganda politik bagi orang Tionghoa.

Tahun 1908, pemerintah Hindia mendirikan sekolah khusus anak-anak Tionghoa pula bernama Hollands Chinese School (HCS), yang dalam perkembangannya justru lebih diminati dibanding THHK. Pemerintah bahkan sampai mendirikan sekolah guru Hollandsch Chinese Kweekschool (HCK) untuk memenuhi kebutuhan jumlah guru Tionghoa di HCS. Dengan adanya sekolah – sekolah THHK dan sekolah – sekolah Eropa, munculah generasi intelektual Tionghoa yang akan meneruskan jalannya pergerakan Tionghoa di Jawa.

KELOMPOK SIN PO

Sebagian halaman koran Sin Po yang terbit di Indonesia pada 1910.
Sumber : nasional.kompas.com

Pada 4 November 1917 digelar Konferensi Semarang di gedung Siang Hwee (Kamar Dagang Tionghoa) dihadiri oleh kira-kira 700 orang. Inti pokok dari konferensi ini adalah agar orang-orang Tionghoa mau ambil bagian dalam volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat Hindia).

Dalam sidang volksraad yang pertama tanggal 21 Mei 1918, harian Sin Po menentang perwakilan orang-orang Tionghoa dalam volksraad, tetapi pemerintah Hindia Belanda malah mengangkat Kan Hok Hoei dan Liem A Pat (keduanya dekat dengan pemerinth Hindia Belanda) sebagai perwakilan orang – orang Tionghoa dalam volksraad. Orang-orang yang mendukung pendapat harian Sin Po ini kemudian disebut sebagai kelompok Sin Po.

Kelompok Sin Po mendorong anak-anak peranakan Tionghoa untuk memperoleh pendidikan Cina dan menyokong partisipasi orang-orang Tionghoa terhadap politik Cina serta menolak partisipasi dalam pemerintahan Hindia Belanda. Sin Po mengarahkan pergerakan Tionghoa untuk menentang adanya diskriminasi hukum, mendapatkan kedudukan yang sama dengan orang Eropa, serta menentang undang-undang kewarganegaraan Belanda.

Banyak yang mendukung, banyak pula yang menentang kelompok Sin Po. Mereka terutama kaum peranakan Tionghoa intelektual dan usahawan kaya yang kemudian membentuk organisasi sendiri pada tahun 1928 yang dikenal dengan nama Chung Hua Hui.

KELOMPOK CHUNG HUA HUI

Kebalikan dari kelompok Sin Po yang mengharapkan perlindungan dari Cina, kelompok Chung Hua Hui (CHH) lebih suka bekerjasama dengan pemerintah Hindia Belanda. CHH adalah organisasi politik yang dibentuk tahun 1911 oleh para pelajar peranakan Tionghoa yang ada di Nederland. Walaupun jiwa mereka tertanam pada Cina namun kebanyakan mereka lahir dan besar di Hindia Belanda. Oleh karena itu, ketika kembali ke Jawa mereka segera terlibat dalam perjuangan mendapatkan persamaan hak dengan orang Eropa.

Anggota CHH menerima undang-undang kewarganegaraan Belanda dan ikut ambil bagian dalam dewan – dewan lokal seperti volksraad. Menurut mereka, meskipun bersuku bangsa Tionghoa namun menurut hukum mereka adalah warga negara Hindia dan hanya dapat menjaga kepentingan – kepentingannya dengan ikut serta dalam lembaga – lembaga politik Hindia Belanda.

Dalam Kongres Chung Hua II tahun 1928, dibentuklah “Chung Hua Hui Group”, yaitu organisasi politik Tionghoa yang menangani semua persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Tionghoa pada saat itu. Namun kemudian justru banyak anggota CHH yang berbalik mengecam CHH sebagai suatu organisasi tuan – tuan tanah dan kapitalis yang melindungi kepentingan dirinya sendiri.

PERANAKAN TIONGHOA DAN NASIONALISME INDONESIA

Usaha pergerakan Tionghoa ke arah perlakuan sama rata justru membawa manfaat pula bagi kaum nasionalis Indonesia. Di awal 1930-an, pemimpin-pemimpin peranakan Tionghoa percaya bahwa peranakan Tionghoa dapat menjadi bangsa Indonesia dalam arti politik; mereka tidak hanya harus memandang Indonesia sebagai negrinya, tetapi juga harus berjuang bersama-sama dengan kaum nasionalis Indonesia dalam perjuangannya mencapai Indonesia merdeka.

Pemikiran Pan Asia yang timbul di akhir tahun 1920-an dan awal tahun 1930-an menekankan pemisahan antara orang Tionghoa dengan pribumi. Kedua kelompok tersebut melihat diri mereka sebagai orang-orang Asia dan oleh sebab itu mempunyai suatu tujuan bersama yaitu menghalau kekuasaan barat. Ironinya, pemikiran ini justru menguatkan pemisahan kedua kelompok tersebut. Mereka memandang persekutuan lebih baik dari pada suatu gabungan di antara mereka.

Orang-orang Tionghoa totok kelompok Sin Po, awalnya merasa sebagai suatu kelompok tersendiri di antara Belanda dan Indonesia, namun sejak percaya pada Pan Asianisme maka mereka menaruh simpati terhadap nasionalis Indonesia. Sementara itu, kaum peranakan Tionghoa intelektual dan kaum usahawan yang tergabung dalam kelompok CHH mengambil keputusan untuk memihak pada Belanda.

Pada 8 Mei 1932, 40 organisasi dari pihak nasionalis Indonesia maupun pihak peranakan Tionghoa mengirimkan perwakilannya dalam suatu rapat besar di Surabaya. Tujuan dari rapat itu yaitu membentuk Panitia Persatuan Bangsa Asia yang disebut Comite Van Actie Persatuan Bangsa Asia. Beberapa pidato pembicara dalam rapat tersebut dihentikan oleh polisi karena dipandang terlalu keras menentang pemerintah. Ketua rapat, Liem Koen Hian, segera ditahan polisi. Akan tetapi mendapat protes oleh kaum nasionalis Indonesia terutama dari Fraksi Nasional Indonesia yang dipimpim oleh Muhammad Husni Thamrin yang pada waktu juga menjabat sebagai presiden Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) dalam volksraad. Suatu kejadian yang pertama dalam riwayat Indonesia, bahwa fraksi Nasional dalam volksraad membela orang peranakan Tionghoa.

Partai Tionghoa Indonesia

Potret Liem Koen Hian, pendiri Partai Tionghoa Indonesia.
Sumber : historia.id

Liem Koen Hian, mendapat dukungan dari kaum nasionalis Indonesia ketika mendirikan organisasi politik Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada 25 September 1932 di Surabaya. PTI ditujukan bagi semua orang Tionghoa yang hidup di Indonesia, yang merasa dirinya terikat oleh kelahiran, pencaharian, sanak keluarga dan merasa mereka akan mati di Indonesia.

Salah satu tujuan PTI yaitu menunjang perjuangan kemerdekaan Indonesia terutama melalui politik kerjasama dengan partai-partai politik nasionalis Indonesia. Namun tidak saja politik, PTI menangani pula persoalan ekonomi, sosial, dan budaya. PTI berdiri di atas azas persamaan kepentingan golongan antara kaum menengah dan buruh orang-orang Tionghoa dengan kaum menengah dan buruh pribumi. Dalam perjuangannya, PTI mengambil jalan koperatif dengan pemerintah Hindia Belanda dalam arti ikut duduk dalam dewan-dewan.

PTI berkembang dengan pesat. Pada saat berdirinya, PTI hanya mempunyai 30 orang anggota namun dalam waktu singkat PTI sudah mempunyai 9 cabang di Jawa dan 2 cabang di luar Jawa. Akan tetapi, pada waktu partai-partai politik nasionalis mengembangkan sayapnya di tahun 1935-an, banyak anggota PTI yang keluar dan bergabung dengan partai-partai nasionalis Indonesia. Termasuk pendiri PTI sendiri, Liem Koen Hian, bergabung dalam Gerindo pada 1939.

Geliat PTI di tahun-tahun terakhir menurun karena para pemimpin PTI masih merasakan pembedaan etnis dari kalangan nasionalis Indonesia sendiri. Terbukti dari kebanyakan partai nasionalis Indonesia tidak mau menerima anggota peranakan Tionghoa. Gerindo, menjadi partai nasionalis pertama yang membuka keanggotaan untuk peranakan Tionghoa.

Pada tahun 1940-1942 PTI bekerjasama dengan Gerindo dan Partai Arab Indonesia (PAI), tetapi gagal dalam menarik dukungan massa dari peranakan Tionghoa karena pemimpin-peminpin PTI pada masa ini sudah kurang memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat Tionghoa pada umumnya. Sampai ketika Jepang masuk dan menguasai Indonesia tahun 1942, semua organisasi Tionghoa yang berbau politik dinyatakan terlarang dan dibubarkan.

Walaupun begitu, sejarah mencatat bahwa orang-orang Tionghoa memiliki peran dalam menyemarakkan perjuangan pergerakan nasional Indonesia. Kiprah perjuangan Liem Koen Hian dan tokoh-tokoh nasionalis Tionghoa lain patut menjadi contoh bagi setiap warna negara dari suku atau etnis apapun dalam mengisi kemerdekaan Indonesia!

Sumber:
Agustinus, Michael. 2012. “Dari Nasionalisme Cina Hingga Indonesierschap: Pemikiran Liem Koen Hian Tentang Kedudukan Orang Tionghoa di Indonesia (1919 – 1951)”. Skripsi. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok.
Yuniarti, Francisca M. 1983. “Partai Tionghoa Indonesia 1932 – 1942”. Skripsi. Jurusan Ilmu – Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia, Depok.

Kategori: Artikel

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder