Hari Kusta Sedunia diperingati secara internasional setiap tahunnya pada Minggu terakhir bulan Januari untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang Kusta atau Penyakit Hansen. Tahun ini, Hari Kusta Internasional jatuh pada 25 Januari 2021 atau bertepatan dengan hari Senin. Untuk memperingati Hari Kusta Internasional, yuk kita kenalan dengan salah satu dokter lulusan STOVIA yang merupakan pemberantas wabah kusta pertama di Indonesia!
Kontributor: Zulfa Nurdina Fitri
Nama Dr. Jacob Bernadus Sitanala diabadikan sebagai nama rumah sakit dan jalan di Kota Tangerang, yaitu Rumah Sakit Kusta (RSK) Dr. Sitanala yang terletak di Desa Karangsari, Kampung Sewan, Kecamatan Neglasari. Jalan utama di depan rumah sakit yang menempati lahan seluas sekitar 54 hektar ini, juga diberi nama Jalan Dr. Sitanala. Pada awalnya, RSK Dr. Sitanala didirikan oleh Departemen Kesehatan RI tepat tanggal 28 Juli 1951 dengan nama Rumah Sakit Sewan karena lokasinya di Kampung Sewan. Rumah sakit yang diresmikan Ny. Rahmi Hatta selaku Ibu Wakil Presiden RI Pertama ini, merupakan pindahan dari Leprosarium Lenteng Agung. Kemudian, untuk menghargai jasa seorang dokter yang pertama kali berkecimpung dalam menangani penderita kusta, yaitu Dr. J.B. Sitanala, maka pada 1962 Rumah Sakit Sewan namanya diubah menjadi Pusat Rehabilitasi Sitanala oleh Menteri Kesehatan RI saat itu Prof Dr Satrio. Pada perkembangan selanjutnya, namanya menjadi Rumah Sakit Kusta (RSK) Dr. Sitanala Tangerang, sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI No 140/ 1978.

Sumber: rsup-drsitanala.co.id
Dr. J.B. Sitanala dilahirkan dari keluarga pengusaha kecil pada 18 September 1889 di Kayeli, Pulau Buru. Dia merupakan keturunan keluarga besar Sitanala dari Desa Suli di Pulau Ambon. Sitanala memulai pendidikan dasar pada Ambonsche Burger School di Ambon dan pendidikan menengah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) pada 1904. Ia melanjutkan pendidikannya ke School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) di Batavia pada 18 Januari 1904. Saat sekolah di STOVIA, Sitanala juga aktif berorganisasi, namanya tercatat dalam sebuah pertemuan Ambonsch Studiefonds pada 17 Juli 1910 di Kebun Binatang, Betawi (Jakarta). Acara tersebut dihadiri sekitar 123 orang dan beberapa personel militer Ambon yang bermarkas di Meester Cornelis (Jatinegara). Selain itu, dilansir dari harian Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië yang terbit 30 Agustus 1907, Sitanala juga bergabung menjadi komisaris dalam Voetbalclub STOVIA.

saat menjadi salah satu komisaris Voetbalclub STOVIA
Sumber: delpher.nl
Setelah berhasil memperoleh ijazah dokter pada 30 Juli 1912, ia diangkat menjadi dokter pemerintah yang ditugaskan menangani wabah penyakit di berbagai daerah. Pada 1914, pemerintah menugaskannya ke Merauke untuk mengatasi penyebaran penyakit kelamin. Atas prestasinya yang tinggi dalam tugas pelayanan kedokteran dan penelitian ilmiah, Sitanala pun mendapat tugas belajar ke Belanda pada 1923 dan dia mendalami ilmu penyakit kusta (lepra). Saat di Belanda, Sitanala juga ikut tergabung dalam Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia).

Sumber: ijl.ilsl.br
Setelah tiga tahun, pada 1926 Sitanala berhasil memperoleh diploma Nederlandsche Arts dan pada 1927 mendapat gelar doktor dan guru besar dalam Ilmu Penyakit Kusta. Sepulang dari Belanda, Sitanala bekerja lagi jawatan kesehatan pemerintah yang mengurusi Lepra. Tercatat, pada 1 November 1927, Sitanala ditempatkan di Rumah Sakit Lepra Plantoengan, tak jauh dari Semarang. Pada 27 Juli 1932, Dr. Sitanala melakukan kunjungan ke rumah sakit Lepra di Semarang. Kemudian, Dr. Sitanala dan Dr. Kadijat pergi ke Surabaya. Tujuan kunjungan kedua dokter ahli penyakit Lepra itu untuk menyelidiki penyebab penyakit yang menyebar di Jawa itu. Penyakit lepra atau kusta, saat itu banyak diderita oleh masyarakat kelas bawah. Ia juga pernah berdiskusi dengan Dr. Soetomo untuk membicarakan penanggulangan penyakit lepra di Jawa Timur.

Sumber: delpher.nl
Dr. Sitanala pun dikenal sebagai ahli penyakit kusta bertama di Indonesia. Sebagai perintis pemberantasan penyakit kusta, namanya juga dikenal di dunia Internasional atas karya-karya ilmiah, penelitian, dan metode baru pengobatan Penyakit Kusta yang dikembangkannya. Dr J.B. Sitanala, kepala Dinas Pemberantasan Kusta, memperkenalkan sistem tiga langkah penanganan pasien lepra, yaitu eksplorasi (surveilans), pengobatan, dan pemisahan (tanpa paksaan dan tetap dalam lingkungan keluarga). Walaupun tak serta-merta menggantikan fungsi leprosarium, sistem tiga langkah secara perlahan mengurangi tindakan pemaksaan isolasi pasien lepra.

Sumber: rsup-drsitanala.co.id
Pada 24 Januari 1940, Dr JB Sitanala yang kala itu tinggal di Semarang, telah menjabat Hoofd Leprabestrijding (Kepala Pemberantas Lepra). Ia juga menerima bintang kehormatan tertinggi dari Kerajaan Swedia, Wasa Orde yang setaraf dengan Nobelprijs (hadiah nobel). Penganugerahan penghargaan tersebut diserahkan oleh Jhr Ir FE Everts secara sederhana dan dihadiri oleh beberapa orang dokter, di antaranya Dr Sardjito, Dr Djoehana, Dr Rehatta, dan Dr Rosendahl. Selain itu, Dr. Sitanala juga menerima sebuah bintang jasa dari perkumpulan sarjana-sarjana internasional dalam bidang kesehatan. Hal tersebut terkait dengan beberapa penyelidikan Sitanala tentang penyakit Lepra di Hindia Belanda. Kemudian pada 1941, ia dipindahkan ke Surabaya dan terlibat dalam pendirian Palang Merah Indonesia (PMI) sebagai anggota dari Panitia Lima bentukan Menteri Kesehatan Kabinet I, Boentaran Martoatmodjo. Setelah bertugas ke Ambon pada tahun 1947, Sitanala masih tetap mengabdi sepanjang hayatnya. Beliau wafat pada 30 Agustus 1958 dan oleh Pemerintah Republik Indonesia dihargai sebagai “Perintis Kemerdekaan”.
Sumber:
______.2014. Perkembangan Pendidikan Kedokteran di Weltevreden: 1851—1926. Terjemahan Djoko Marihandono dan Harto Juwono. Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional.
Renata, M. 2010. Dilema dan Isolasi. https://historia.id/sains/articles/dilema-dan-isolasi-DBzmD/page/1. Diakses 24 Januari 2021.
Wibowo, W. 2017. Dr Sitanala, Dokter dan Peneliti Penyakit Kusta Pertama di Indonesia. https://daerah.sindonews.com/berita/1250326/29/dr-sitanala-dokter-dan-peneliti-penyakit-kusta-pertama-di-indonesia?showpage=all. Diakses 24 Januari 2021.
0 Komentar