Saat ini Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) atau orientasi kampus salah satu universitas di Indonesia sedang ramai diperbincangkan masyarakat setelah video ospek secara daringnya tersebar luas. Tahukah kalian, tradisi ospek ini juga sudah terjadi sejak zaman kolonial Belanda? Salah satunya berlangsung di sekolah kedokteran bumiputera yang pertama, yaitu STOVIA.
Metode perploncoan di STOVIA yang diceritakan oleh Jacob Samallo dalam memoar “Kenangan dari Kehidupan Siswa STOVIA 25 Tahun Lalu” pada buku Perkembangan Pendidikan Kedokteran di Weltevreden 1851-1926 mengisahkan bahwa para murid baru harus memanggil seniornya dengan sebutan “Tuan”. Mereka disuruh untuk mengelap sepatu, mengatur dipan, mengisi lampu dan terkadang menjadi kurir dari para senior. Beberapa rekan senior meminta para junior untuk membayarkan makanan yang sudah mereka pesan. Selain itu para siswa baru diperlakukan seperti militer. Semuanya berlangsung tepat waktu. Pada pagi hari pukul setengah delapan lonceng berbunyi (sekolah dimulai), pukul setengah enam (belajar sore selesai), pukul setengah delapan (belajar petang dimulai), pukul setengah sepuluh (belajar petang selesai), pukul sepuluh (apel) dan kadang-kadang pada pukul 12 malam masih ada apel tambahan. Di luar lingkungan STOVIA, setiap murid wajib untuk memakai topi seragamnya dan jika ketahuan tertangkap tanpa tanda pengenal tersebut maka mereka diberi hukuman berupa pengurungan kamar selama satu sampai dua hari.

Memoar lain dari Mohammad Roem yang pernah belajar sebentar di STOVIA – yang sekarang lebih dikenal sebagai diplomat ulung Indonesia, menceritakan pengalamannya diplonco ketika masuk STOVIA pada 1924. Bahasa Belanda dari “plonco” waktu itu adalah ontgroening. Kata groen artinya hijau. Murid baru adalah hijau, dan ontgroening dimaksudkan untuk menghilangkan warna hijau itu. Melalui cerita Roem dalam Bunga Rampai dari Sejarah Jilid 3, mengakui bahwa perploncoan itu sudah bertahun-tahun dilaksanakan, tetapi belum pernah terdengar kejadian yang tidak sedap atau melampaui batas. Hal ini karena pengawasan yang ketat, sehingga ekses dapat dihindarkan.
Waktu perploncoan dibatasi, tidak boleh memplonco di waktu belajar dan waktu istirahat. Perploncoan berlangsung cukup lama sampai tiga bulan karena STOVIA adalah sekolah berasrama.

Salah satu materi plonco yang rutin ditanyakan soal asal siswa. Waktu Roem menjawab orang Jawa, maka pertanyaan berikutnya apakah dia tahu alfabet Jawa. Kemudian dia harus mengucapkannya. Pertanyaan berikutnya, apakah dia dapat mengucapkan alfabet Jawa secara terbalik, dari belakang. Dia bisa, tetapi sangat lambat. Seniornya meminta dia harus mengucapkannya sama lancarnya dari depan atau belakang. Malam itu, sesudah selesai pekerjaan sekolah (PR), dia masih memerlukan setengah jam lebih untuk menghapalkan alfabet Jawa dari belakang ke depan. Perploncoan itu hanya dijalankan dalam tembok sekolah dan asrama, dan plonco tidak boleh menggunduli siswa baru.
Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, sudah saatnya tradisi perploncoan dan budaya senioritas diakhiri. Pada era saat ini, ospek dengan metode kekerasan verbal dan senioritas sudah sangat tidak relevan dan kurang bermanfaat. Dengan adanya, video viral dari potret ospek daring yang dilakukan oleh salah satu universitas tersebut, hendaknya menjadi sebuah evaluasi untuk menyudahi tradisi perploncoan tersebut dan mengganti dengan kegiatan orientasi yang lebih bermanfaat bagi siswa atau mahasiswa baru.
Kontributor: Zulfa Nurdina Fitri
Sumber:
Isnaeni, Hendri F. 2015. Kisah Plonco Sejak Zaman Londo (https://historia.id/kultur/articles/kisah-plonco-sejak-zaman-londo-P9j8l).
Roem, Mohammad. 1983. Bunga Rampai dari Sejarah Jilid 3. Jakarta: Bulan Bintang.
Samallo, Jacob. 1926. “Kenangan dari Kehidupan Siswa STOVIA 25 Tahun Lalu” dalam Perkembangan Pendidikan Kedokteran di Weltevreden 1851-1926. Weltevreden: G. Kolff & Co.
0 Komentar