Peringatan Hari Bidan Nasional ke-69 yang jatuh tanggal 24 Juni kemarin memiliki nuansa berbeda dari tahun-tahun sebelumnya karena bertepatan dengan hantaman pandemi Covid-19. Keadaan ini menempatkan para bidan sebagai salah satu prajurit garda depan dalam memperjuangkan keselamatan masyarakat.

Awal terbentuknya profesi bidan sendiri memiliki lika-liku sejarah yang tidak mulus, bermula dari ujaran skeptis dokter Eropa terhadap profesi dukun beranak dalam menangani persalinan yang justru dianggap banyak berujung dengan kematian. Di sisi yang berseberangan, tradisi turun-temurun membuat pribumi memiliki keterikatan pada dukun beranak.

DUKUN BERANAK: MALAIKAT BAGI PRIBUMI, NENEK SIHIR BAGI DOKTER EROPA

Dukun beranak hampir selalu menjadi yang pertama membantu dalam kehamilan dan persalinan wanita pribumi. Masyarakat secara turun-temurun memiliki kepercayaan kepada dukun beranak dalam menangani persalinan, seperti halnya masyarakat sekarang mempercayai dokter spesialis kandungan. Sebaliknya, Dokter eropa memiliki anggapan buruk tentang mereka. Kepala Jawatan Kesehatan, G. Wassink, menekankan bahwa pengetahuan dukun bayi yang sama sekali tidak memadai mengenai proses alami kelahiran bayi normal, serta ketidaktahuan mereka sepenuhnya tentang kondisi-kondisi menyimpang yang terjadi selalu menimbulkan konsekuensi negatif.

Praktik penanganan kehamilan dan persalinan wanita pribumi dainggap terlalu sering berujung pada musibah. Untuk menekan hal itu, pemerintah mengatur bahwa bila seorang perempuan sudah dalam persalinan selama 12 jam, harus mendatangkan bantuan dokter Eropa. Akan tetapi, orang pribumi tetap setia dan percaya pada dukun beranak.

Van Buuren, menggambarkan sebagian dukun bayi sebagai perempuan tua jelek, sebagian besar di atas usia 50 tahun, sebagian berjalan dengan tongkat, sebagian buta karena katarak, sebagian lain matanya terkena peradangan granulomatosa. Bahkan ada yang tuli. Sampai-sampai ia menjuluki mereka “malaikat pencabut nyawa”. Van Buuren lalu menghimbau penduduk agar tak meminta bantuan persalinan pada dukun beranak. Upayanya sia-sia, penduduk menolak karena tak ada peraturan dari polisi.

Pada Mei 1898, semua pejabat dan dukun beranak dari Kediri berkumpul. Pertemuan itu antara lain memperkenalkan dua bidan baru yang akan bertugas di wilayah Kediri. Pemerintah berharap dengan hadirnya bidan, masyarakat tak lagi meminta bantuan dukun beranak dalam proses persalinan mereka. Para dukun juga tidak boleh membantu proses persalinan. Tugas mereka baru dimulai setelah proses kelahiran selesai, sebagai dukun bayi.

 

JATUH BANGUN AWAL PENDIDIKAN BIDAN PRIBUMI

Pendirian sekolah bidan di Batavia tahun 1825 tidaklah mulus. Para siswa yang masuk ke sekolah itu harus melalui proses paksaan karena begitu minimnya peminat. Hal ini karena masyarakat pribumi lebih mempercayakan persalinan mereka kepada dukun beranak. Pada akhirnya sekolah tersebut pun ditutup.

Gagasan untuk mendidik bidan pribumi baru terlaksana lagi pada 1851 ketika Willem Bosch, mendirikan sekolah kebidanan untuk pribumi. Sekolah itu bertempat di tanah milik rumah sakit militer di Batavia (sekarang menjadi RSPAD Gatot Soebroto). Banyak dokter Eropa memiliki ekspektasi positif pada para lulusan sekolah itu. Namun kenyataannya, lulusannya tidak diterima oleh masyarakat pribumi yang lebih percaya pada dukun beranak. Sekolah itu pun ditutup pada 1875. Pada saat penutupannya, sekolah itu telah menghasilkan 100 lulusan. Para lulusan inilah yang di masa kini disebut bidan.

Pemerintah kemudian mendirikan sekolah bidan baru pada 1886. Lulusan sekolah ini pun mengalami kendala karena alasan yang sama. Ditambah lagi dengan gaji buruk, hampir tidak ada upah tambahan, oposisi dari dukun yang tidak suka pekerjaan mereka diambil alih, serta masyarakat yang masih terikat tradisi.

Pada akhir abad ke-19, cara baru untuk mendidik bidan sudah ditetapkan, yaitu program pelatihan di mana murid belajar bersama dokter di berbagai daerah. Lalu di sepanjang 1920-an, sekolah kebidanan didirikan di beberapa tempat, salah satu yang di Batavia adalah Budi Kemuliaan yang masih ada hingga kini.

 

DUKUN BERANAK DAN BIDAN, HARMONIS HINGGA KINI

Pada akhirnya fenomena keterikatan masyarakat pada dukun beranak dapat dimaklumi sebagai sosiobudaya yang harus disinergikan. Sementara itu, berangsur-angsur berkembang kesadaran  akan pentingnya peran bidan dalam menangani persalinan dengan benar dan aman. Pemerintah kolonial membuat kebijakan kepada dukun beranak untuk mengiringi tugas bidan tanpa terlibat dalam proses persalinan secara langsung. Sinergi antara dukun dan bidan tersebut dan masih membudaya sampai saat ini dimana dukun beranak mendapat posisi sebagai mitra bidan dalam menangani proses persalinan.

 

 

Kontributor: Yusti Muslimawati, S.S

 

Referensi:

Bergen, Leo van dkk (Ed). 2019. Gelanggang Riset Kedokteran di Bumi Indonesia: Jurnal Kedokteran Hindia-Belanda 1852-1942. Jakarta: Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan KITLV-Jakarta

historia.id

Kategori: Artikel

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder