Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei ini memang didasari dari tanggal dimana sebuah organisasi modern pertama didirikan 112 tahun yang lalu di sebuah gedung sekolah kedokteran STOVIA di Batavia. Boedi Oetomo yang resmi didirikan oleh siswa-siswa kedokteran pada 20 Mei 1908 ini oleh Presiden Soekarno ditetapkan sebagai salah satu tanggal penting dalam rangkaian peringatan hari besar yang lain. Penetapan ini bisa dikatakan sebagai salah satu formula agar bangsa yang baru merdeka ini tidak makin tercerai-berai lagi karena konflik intern yang terjadi pasca kemerdekaan. Perdebatan tanpa ujung pun masih menyertai pemilihan hari ini sebagai sebuah simbol dari wujud kebangkitan nasional. Terlepas dari unsur politik yang menyertai keputusan itu diambil, alangkah lebih bijak jika kita tidak terlarut dalam argumen yang sudah jelas akan sia-sia.

Satu hal yang pasti dan bisa kita lihat atau bahkan kita rasakan, bahwa Hari Kebangkitan Nasional tidak semengharukan seperti peringatan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober, jauh jika dibandingkan dengan megah dan meriahnya peringatan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus. Seringkali tanggal 20 Mei ini terlewat begitu saja tanpa ada rasa dan ruh pada diri kita, kaum yang dikatakan sebagai penerus bangsa. Bukankah tanpa 1908 maka rentetan tonggak yang berikutnya bisa saja tidak ada? Tokoh-tokoh berlomba untuk mendirikan sebuah organisasi dengan tujuan memperbaiki kondisi masyarakat Hindia Belanda, sebut saja Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia yang semula bernama Indische Vereeniging, Sarekat Dagang Islam yang kemudian menjadi Sarekat Islam, Indische Partij, Muhammadiyah, Tri Koro Dharmo yang berubah menjadi Jong Java disusul dengan organisasi pemuda kedaerahan lain, Nahdlatul Ulama yang menyusul Muhammadiyah sebagai organisasi berbasis agama dan masih banyak organisasi lain. Sebuah kesadaran bersama tentang nasionalisme dan pentingnya menjadi sebuah bangsa berdaulat yang nanti akan mengerucut pada peristiwa Sumpah Pemuda.

Kembali kepada Kebangkitan Nasional, terasa tak banyak yang bisa diangkat dari sisi historisnya hanya dengan mengandalkan pendirian sebuah organisasi modern. Padahal di titik inilah sebenarnya contoh mulia bisa didapat oleh orang yang hidup di masa sekarang. Organisasi Boedi Oetomo didirikan oleh siswa kedokteran di gedung sekolah, tepatnya di ruang anatomi sekolah tersebut. Jika sekolah jaman sekarang memiliki banyak organisasi sebagai wadah kreativitas siswanya seperti OSIS, PMR, Pramuka, Jurnalistik ataupun yang lainnya, siswa STOVIA harus dengan sangat hati-hati dalam mendirikan organisasi Boedi Oetomo. Bahkan Soetomo nyaris dikeluarkan karena para guru takut apa yang dilakukan Soetomo mempengaruhi siswa lain dan akan mengganggu kegiatan belajar mengajar di STOVIA.

Jika boleh sedikit kembali pada awal kemerdekaan tepatnya tahun 1948 Presiden Soekarno mengemukakan keinginannya agar 20 Mei 1908 diperingati secara besar-besaran tiap sepuluh tahun sekali. Hal ini didasari karena Boedi Oetomo merupakan perhimpunan kebangsaan pertama yang didirikan dengan maksud menyatukan rakyat yang dulu terpecah-pecah menjadi satu sebagai sebuah bangsa yang besar dan kuat. Tentu saja ini menyadarkan kepada rakyat Indonesia bahwa kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah hasil perjuangan rakyat yang telah dirintis sejak 20 mei 1908.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara pada saat menjadi Ketua Panitia Peringatan 40 Tahun Kebangunan Nasional. Beliau menegaskan bahwa 20 Mei adalah hari bangunnya bangsa Indonesia, bangkitnya semangat kebangsaan untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda. Dan merupakan hari dimulainya segala persiapan secara modern untuk menyongsong kemerdekaan bangsa dan negara.

Dari itu semua, apakah tidak bisa untuk kita sedikit saja merenungkan sedalam apa niat tulus para tokoh 1908 demi bangsanya? Usia mereka masih belia, belum genap 25 tahun, jika diasumsikan manusia mencapai kematangan berpikir pada usia ini, tapi mereka sudah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memikirkan orang lain, memikirkan nasib bangsanya. Bahkan mereka belum lulus sekolah, padahal sistem pendidikan STOVIA bisa dibilang salah satu yang ketat aturannya, jika tidak lulus ujian akhir gelar dokter tak akan menempel di depan nama mereka. Kondisi jaman waktu itu juga patut kita perhitungkan, sangat jauh tentunya dengan masa sekarang dengan segala kemudahan komunikasi dan informasi. Keterbatasan ruang informasi, hanya dari koran ataupun surat dan telegram ditambah ketatnya aturan tentang berorganisasi yang diterapkan oleh pemerintah Kolonial Belanda nyatanya tidak meyurutkan semangat siswa-siswa STOVIA ini untuk tetap mendirikan organisasi modern. Karena mereka sadar, bangsa mereka menunggu mereka bertindak untuk membebaskan diri dari kemelaratan karena eksploitasi kolonial. Ini juga senada denga isi surat raden Soewadji, ayah R. Soetomo, ketika memperingatkan Soetomo untuk lebih giat belajar dan tidak menyia-nyiakan waktunya di STOVIA.

Tonggak besar sejarah bangsa Indonesia bisa diringkas menjadi tiga bagian, yaitu 20 Mei 1908 dengan berdirinya Boedi Oetomo menandai perubahan bentuk perjuangan bangsa ini yang semula bersifat kedaerahan menjadi semangat nasional. Kemudian Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang merupakan bentuk pernyataan secara resmi bahwa kita satu, sebagai sebuah bangsa, menepikan perbedaan kedaerahan yang ada. Puncaknya adalah 17 Agustus 1945, dimana sebuah negara baru lahir di tataran negara-negara berdaulat di dunia dengan nama Indonesia. Ini semua adalah sebuah keberhasilan bersama sebagai sebuah bangsa tentu saja.

Lalu apa yang sudah kita lakukan sekarang ini? Apakah menghujat keputusan seorang Presiden tentang peringatan Hari Kebangkitan Nasional akan membawa dampak lebih baik bagi bangsa ini? Ataukah kita dengan sadar menginsyafi bahwa sebenarnya perjalanan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan dan sebuah negara bernama Indonesia masih ada sampai sekarang ini tidak bisa dilepaskan dari perjuangan tokoh 1908? Tidak bisakah kita meneladani semangat yang mereka miliki untuk bangkit dari keterpurukan keadaan yang sekarang kita hadapi?

Sudah selayaknya kita menempatkan Hari Kebangkitan Nasional ini sebagai salah satu peristiwa penting dalam kolom peringatan hari besar dan bersejarah yang kita miliki. Bukan untuk menegaskan tanpa 1908 tidak akan ada 1928 atau 1945, tidak, tapi lebih kepada kesadaran masing-masing individu yang menyadari tugasnya yang teramat berat, mempertahankan negara yang sudah susah payah diperjuangkan oleh para pendahulu setidaknya 112 tahun yang lalu. Tentu saja ini sudah dituangkan oleh WR. Soepratman dalam stanza ketiga lagu Indonesia Raya “…marilah kita berjanji Indonesia abadi…”.

Selamat Hari Kebangkitan Nasional, semoga semangat ini terus menyala dan menyadarkan kita untuk bersama-sama dengan bergandengan tangan agar bisa menang dalam mengatasi situasi saat ini.

 


 

Kontributor:

Titis Kuncoro Wati

Sumber:

Dokter Soetomo.Museum Kebangkitan Nasional. 2013

9 Tokoh Pendiri Boedi Oetomo. Museum Kebangkitan Nasional. 2014

Kaum Nasionalis Dalam Dunia Pergerakan. Bondan Kanumoyoso (makalah seminar 110 tahun kebangkitan nasional tahun 2018)

Asal Usul Peringatan hari Kebangkitan Nasional. Henri F. Isnaeni 

https://historia.id/politik/articles/asal-usul-peringatan-hari-kebangkitan-nasional-vqrkZ (diakses tanggal 12 Mei 2020)

Kategori: Artikel

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder