Salah satu tokoh pendidikan yang terlupakan kiprah dan jasanya adalah Mohammad Sjafei. Seperti juga Ki Hajar, Mohamad Sjafei juga mengabdikan hidupnya untuk membangun pendidikan dengan penekanan pada penguatan karakter bangsa. “Pendidikan yang memerdekakan‟ adalah slogan yang dijadikan acuan gerak dan pikir Mohamad Sjafei dalam menghadapi dominasi kolonial. Setelah Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa (1922), empat tahun kemudian (1926), Mohamad Sjafei menyusul untuk mendirikan Indische Nationale School (INS) Kayutanam.

Muhammad Sjafei lahir di Ketapang, Kalimantan Barat, pada tahun 1899. Menurut penulis cerita Robohnya Surau Kami sekaligus alumnus INS Kayutanam Ali Akbar Navis dalam Filsafat Dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam (1996), tanggal kelahiran Sjafei direka-reka oleh dirinya sendiri yaitu 31 Oktober 1893. Keterangan itu sulit diterima mengingat ibu kandung Sjafei buta huruf, seperti kebanyakan orang Indonesia awal abad ke-20.  Meskipun berdarah Jawa asal Kediri, ia dianggap sebagai tokoh masyarakat di Sumatera Barat. Hal ini tidak lepas dari peran ayah angkatnya, Ibrahim Marah Soetan (1860-1954), seorang tokoh pendidik dan pengarang pada awal abad ke-20 yang notabene merupakan putra Minangkabau asal Kayutanam, tamatan Kweekschool (atau Sekolah Raja) Bukittinggi, yaitu sekolah guru yang paling bergengsi dan satu-satunya di Sumatera. Alumni sekolah ini di antaranya adalah Tan Malaka dan Abdul Haris Nasution.

(Mohammad Sjafei bersama teman-temannya di Kweekschool)

Prestasi sekolah Sjafei kecil rupanya sangat membanggakan sang ayah, sehingga setelah menamatkan sekolah rakyat di sana ia dikirim ke Sekolah Raja Bukittinggi, di mana Marah Soetan pernah bersekolah. Setelah tamat dari Sekolah Guru di Bukit Tinggi, Sjafei bekerja sebagai guru pada Sekolah Kartini di Jakarta selama 6 tahun. Seperti telah dijelaskan di atas, Sjafei seperti juga Ki Hajar, termasuk sosok yang berupaya mengawinkan sekolah dan politik. Perkenalannya dengan dunia politik telah dimulai ketika ia bersama ayah angkatnya, Marah Soetan, tinggal di Betawi (Jakarta). Bertemu dengan banyak tokoh pergerakan yang berkunjung ke rumah mereka. Sejak itulah, Sjafei menjadi anggota partai ayahnya, Insulinde, dan ia juga menyediakan waktunya untuk mengajar di Tamansiswa. Ia pun sangat menghayati cita-cita ayahnya, yang ingin mendirikan sekolah sendiri yang berada di luar sistem kolonial, sebuah sekolah yang memerdekakan jiwa dan kreativitas anak-anak di luar pakem pendidikan kolonial.

(Ibrahim Marah Soetan)

Pada usia 29 tahun berangkat pada tangal 31 Mei 1922, Sjafei pernah merantau ke Belanda atas usaha sendiri untuk belajar di sana. Dari negeri Belanda, Sjafei memperoleh empat ijazah: ijazah guru Eropa, menggambar, pekerjaan tangan, dan musik. Di samping itu ia ikut aktif dalam organisasi pelajar yang didirikan oleh Mohammad Hatta yaitu ”Indonesische Vereeniging” dan menjadi redaktur rubrik pendidikan pada organisasi itu. Setelah sering berdiskusi, Hatta dan Sjafei sepakat soal pentingnya pendidikan bagi kemerdekaan.  Tak heran jika Sjafei menolak tawaran mengajar di sekolah pemerintah dan memilih membangun sekolah sendiri. Sjafei bertekad mendirikan sebuah sekolah yang dapat mengembangkan bakat-bakat murid-muridnya dan disesuaikan dengan kebutuhan rakyat Indonesia.

Di Kayutanam-lah ia mendirikan sekolah yang dimaksud. Dalam memimpin sekolahnya, ia akan menolak secara keras bantuan dari luar, terutama bila bantuan tersebut bersifat mengikat dan tidak memberinya kebebasan. Semua bangunan dan fasilitas sekolah adalah hasil buah karya dan kemandirian murid-muridnya sendiri. INS Kayutanam dikategorikan sebagai sekolah kejuruan. Semboyannya sangat terkenal: “Apa yang saya dengar saya lupa, apa yang saya lihat saya ingat dan yang saya perbuat saya tahu.” Murid-muridnya yang pertama, sebanyak 110 orang, tidak duduk di bangku, melainkan di atas tikar. Keadaan seperti itu berlangsung selama 9 bulan. Setelah itu, secara bergotong royong, murid-murid mendirikan sebuah bangsal yang sederhana di tengah-tengah kebun kopi. Bangsal tersebut dijadikan 4 kelas dimana saat itu muridnya sudah bertambah menjadi 200 orang.  Pada masa Jepang singkatan INS berubah menjadi “Indonesia Nippon Sekolah” dan setelah proklamasi, disesuaikan dengan Indonesia Nationale School (INS). 

(Indische Nationale School (INS) Kayutanam)

Adapun tujuan sekolah yang diselengarakan oleh Mohammad Syafei adalah: (1) mendidik anak-anak agar mampu berpikir secara rasional, (2) mendidik anak-anak agar mampu bekerja secara teratur dan bersungguh-sungguh, (3) mendidik anak-anak agar menjadi manusia yang berwatak baik, (4) menanamkan rasa persatuan. Pandangan Syafei tentang pendidikan bahkan telah melampaui zamannya mengenai peranan pendidikan dasar bagi kemajuan bangsa dan negara Indonesia. Jadi, sebagaimana diketahui, konsep pendidikan Sjafei tak sekedar mendidik nalar menjadi pintar, melainkan harus ditambahkan kekuatan jiwa, antara lain kebangsaan. “Pertolongan untuk keluar dari keaktipan yang rendah itu ialah pendidikan dan pengajaran yang efektif. Artinya pendidikan dan pengajaran yang mengandang sekalian inti-inti dari tjita-tjita bangsa Indonesia! Inti-inti dari cita-cita kebanggaan itu terdiri dari sejumlah sistem nilai yang menjiwai suasana bathin dan perilaku anakbangsa seperti kemandirian, dalam arti percaya diri, siap menjadi diri sendiri , berani berdiri di atas kaki sendiri dalam arti tidak tergantung pada orang lain. Dalam bahasa Belandanya ialah op zijn eigen benen kunnen staan; aktif-kreatif dan inisiatif, berkecakapan untuk mencipta dan bukan menjadi “pak tiru” bulat-bulat, “berperasaan” tanggung djawab akan keselamatan negara dan bangsa Indonesia dan kemanusiaan; berkeyakinan demokrasi dalam hak dan kewadjiban berjasmani sehat, ulet tajam berpikir serta logis, berperasaan halus dan tajam.”

Tampak bahwa unsur kebangsaan amat kuat dalam pemikiran Moh. Sjafei. Di sini kita berjumpa dengan semangat zaman yang menjiwai pemikiran pendidikannya, yaitu semangat nasionalisme anti-kolonial. Semua ini tercermin dari paradigma pendidikan yang dikembangkannya, yang kesemuanya diarahkan untuk memperkuat karakter bangsa. Selepas proklamasi Indonesia, Sjafei masuk politik. Pada 1946 ia diangkat menjadi menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP dan K) dalam Kabinet Syahrir yang kedua menggantikan Todung Sutan Gunung Mulia. Kemudian ia menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan pada 1950 menjadi anggota parlemen. Ia pernah mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari IKIP Padang pada tahun 1968. Syafei meninggal dunia pada tanggal 5 Maret 1969.


Kontributor: Zulfa Nurdina

Sumber: 

Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya. 2015. Tokoh Pemikir Karakter Bangsa. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Navis, Ali Akbar. 1996. Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei. Jakarta: Grasindo.

Zed, Mestika. “Engku Mohammad Sjafei dan INS Kayutanam: Jejak Pemikiran Pendidikannya, Jurnal TINGKAP, Volume VIII No.2, Oktober 2012, diunduh dari http://ejournal.unp.ac.id/index.php/tingkap/article/download/1879/1612, (diakses 3 Mei 2020).

Kategori: Artikel

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder