Namanya tertimbun bersama nama-nama besar tokoh pergerakan, pun dalam radar pergerakan perempuan lainnya. Tak banyak yang mengenalnya atau sekedar pernah mendengar namanya. Ia adalah Opu Daeng Risaju, salah satu perempuan hebat yang tak hanya sekedar pemikiran tapi juga perlawanan nyata, berjuang hingga di ujung senja. Lahir dengan nama Famajjah di Palopo, Luwu pada 1880, ayahnya Muhammad Abdullah To Bareseng dan ibunya Opu Daeng Mawellu, merupakan cicit Raja Bone ke 22 La Temmasonge Malimongeng. Setelah menikah dengan Haji Muhammad Daud, ia lebih dikenal dengan Opu Daeng Risaju.
Meskipun seorang bangsawan, Ia tak pernah mengenyam pendidikan formal, bahkan bisa dibilang buta huruf, hanya mengenal aksara Bugis. Tapi satu yang pasti, ia memiliki pemikiran yang luas dan gigih memperjuangkan hak kaum tertindas. Merupakan pejuang dan pelopor berdirinya PSII (Partai Sarikat Islam Indonesia) di Luwu. Rela melepas gelar kebangsawannya dan memilih bercerai dengan suaminya daripada harus menghentikan kegiatan politiknya. Sebuah pengorbanan yang tidak sedikit, karena penolakan kegiatan yang dilakukannya justru berasal dari keluarganya sendiri.
Opu Daeng Risaju menjadi anggota PSII cabang Pare-Pare sejak tahun 1927 saat usianya 47 tahun. Pada 14 Januari 1930 ia terpilih sebagai ketua cabang PSII di Palopo. Perjuangan yang dilakukan Opu daeng Risaju tentu tidak mudah, pemerintah kolonial Belanda mulai resah dengan tindakan yang dilakukannya. Alhasil ia pun ditangkap dan dijebloskan ke penjara selama 13 bulan di Masamba. Penangkapan ini dimaksudkan Belanda untuk mengurangi aktivitas gerakan perlawanan yang dilakukan Opu Daeng Risaju terhadap Belanda serta untuk membendung perluasan ajaran PSII di Luwu.
Lambang PSII
Tahun 1933 Opu daeng Risaju mendapat undangan untuk menghadiri Kongres PSII di Batavia. Setelah mengikuti kongres PSII ia menyempatkan berkunjung ke beberapa kota di Jawa dengan tujuan menambah pengalaman dan pengetahuan tentang pergerakan. Sekembalinya dari Jawa, Opu Daeng Risaju harus menghadapi berbagai tekanan sehingga ia kembali masuk penjara. Dari total masa tahanan 14 bulan, ia jalani selama 8 bulan. Selama berstatus sebagai tahanan ia diperlakukan seperti tahanan lain, karena status bengasawannya telah dicabut sebelumnya. Ia dibebaskan pada tahun 1935 saat Raja Luwu baru yang bernama Andi Jemma naik tahta.
Pada masa pendudukan Jepang situasi politik dan kondisi organisasi keagamaan di Sulawesi Selatan menjadi suram, bahkan Jepang melarang seluruh aktivitas PSII. Namun itu semua tidak menyurutkan semangat Opu Daeng Risaju untuk tetap melakukan perlawanan di daerahnya. Sampai akhirnya ketika ia berada di Belopa, tersebar berita bahwa Jepang menyerah kepada Sekutu. Kekalahan Jepang bukan menjadi akhir dari perjuangan Opu Daeng Risaju. Kedatangan tantara NICA yang ikut memanfaatkan kedatangan Sekutu kembali mengusik Luwu. Tentu saja Opu Daeng Risaju tidak tinggal diam, ia bersama dengan pemuda Sulawesi Selatan berjuang melawan NICA yang ingin kembali berkuasa. Melakukan mobilisasi dan menanamkan doktrin perjuangan kepada para pemuda membuat Opu Daeng Risaju menjadi target sasaran NICA.
Pasukan Tentara NICA
Pada tahun 1946 Opu Daeng Risaju berserta para pemuda melakukan serangan terhadap NICA, sebulan kemudian tantara NICA melakukan serangan balasan yang menyebabkan banyak penuda gugur. Meskipun Opu Daeng Risaju berhasil meloloskan diri, dan hidup berpindah-pindah namun ia berhasil ditangkap oleh NICA di tempat persembunyiannya di Latonro. Dari Latonro, Opu Daeng Risaju dipaksa berjalan kaki sejauh 40 kilometer menuju Watampone. Di kota ini Opu Daeng Risaju dipenjara selama satu bulan tanpa diadili, kemudian dipindahkan ke penjara Sengkang. Dari Sengkang selanjutnya dibawa ke Bajo. Selama di Bajo, Opu Daeng Risaju disiksa oleh Ludo Kalapita yang menjabat sebagai Kepala Distrik Bajo. Ia disuruh berlari mengelilingi lapangan dengan diiringi letusan senapan. Tidak hanya itu, Opu Daeng Risaju juga disuruh untuk tegak berdiri menghadap matahari lalu di atas pundaknya diletakkan laras senapan yang kemudian diletuskan. Akibatnya, Opu daeng Risaju yang sudah berusia 67 tahun itu jatuh tersungkur mencium tanah dan menjadi tuli seumur hidup. Siksaan masih berlanjut dengan ditempatkannya Opu Daeng Risaju harus menjalani hukuman penjara di bawah kolom rumah. Seminggu kemudian dikenakan tahanan luar rumah dan ia tinggal di rumah Daeng Matajang. Selanjutnya ia masih harus menjalani masa tahanan selama 11 bulan tanpa pengadilan. Setelah selesai masa tahanan, ia kembali ke Bua dan menetap di Belopa.
Tahun 1949, Opu daeng Risaju mengikuti anaknya Haji Abdul Kadir Daud, pindah ke Pare-Pare. Kegiatan politiknya semakin surut seiring dengan bertambahnya usia Opu Daeng Risaju. Sejak tahun 1950 ia sudah tidak aktif lagi di PSII, meskipun demikian ia tetap dijadikan sesepuh di organisasi tersebut. Ketika anaknya meninggal, Opu daeng Risaju kembali ke Palopo.
Opu Daeng Risaju wafat di usianya yang ke 84 tahun, tepatnya pada 10 Februari 1964. Beliau dimakamkan di pekuburan raja-raja Lokkoe di Palopo tanpa ada upacara penghormatan sebagaimana lazimnya pahlawan yang meninggal. Pada 3 November 2006, oleh pemerintah beliau ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Kontributor: Titis Kuncoro Wati
Sumber:
Budi, Arifina. (2016). Keteguhan Sang Macan Betina dari Timur, Opu Daeng Risaju. (https://www.goodnewsfromindonesia.id/2016/11/08/keteguhan-sang-macan-betina-dari-timur-opu-daeng-risaju, diakses 20 April 2020).
Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan. 2017. Tokoh Inspiratif Bangsa. Jakarta: Kemdikbud.
Matanasi, Petrik. (2018). Opu Daeng Risaju Menentang Kolonialisme di Usia Senja. (https://tirto.id/opu-daeng-risadju-menentang-kolonialisme-di-usia-senja-cH4P, diakses 20 April 2020).
0 Komentar