Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor tak beri libur natalan bagi serdadu-serdadunya di tahun 1948. Seminggu sebelumnya, Spoor baru saja mengerahkan tentara untuk menduduki Ibukota RI Yogyakarta dalam hitungan jam. Setelah ibukota diduduki dan para pejabatnya ditahan, Spoor dan tentaranya tak mau berleha-leha. Mereka mengejar gerilyawan-gerilyawan Republiken di pedalaman. Para serdadu dikerahkan sekuat tenaga untuk menangkap Panglima Besar Jenderal Soedirman (1916-1950). Spoor tampak seperti dikejar deadline. Sementara itu, sehari sebelum Natal 1948, Soedirman sedang berada di Kediri. Hanya sampai sore Soedirman dan rombongan pengawalnya berada di sana. Menjelang malam, seperti diusulkan Kapten Soepardjo, Panglima Besar itu dikawal menyingkir dari Kediri. Bakda Magrib mereka menuju sebelah barat sungai Brantas, ke desa Sukarame. Di sana Soedirman beristirahat.

Esok harinya, tepat di hari Natal, pada pukul 08.00, Kediri pun diserang militer Belanda. Rupanya, pasukan Baret Merah Belanda yang menyaru seragam ala TNI berhasil menyusup masuk lebih dulu ke kota Kediri pada Sabtu tanggal 25 Desember 1948 dini hari. Pagi harinya, datang pula panser-panser dan kavaleri Belanda. Selain itu, serangan udara juga dilancarkan. Di tempat yang dicurigai intel Belanda sebagai tempat persembunyian Jenderal Soedirman. Saat itu, Jenderal Soedirman lolos karena pada saat itu beliau sudah sampai di lereng Gunung Wilis.

Pada front pertempuran lain nun jauh di barat, di hari Natal 25 Desember 1948 itu, Romo Soegijapranata tetap menjalankan tugasnya sebagai pemimpin umat Katolik. Beliau memimpin tiga misa setelah pukul 06.30 pagi dan selanjutnya menerima beberapa tamu. Di masa perang itu, yang saban hari siapa saja bisa mati, Romo Soegija selalu diliputi perasaan harap-harap cemas. Dia menerima beberapa kabar buruk soal orang yang terbunuh dan terjarahnya seminari. Setelah Yogyakarta diduduki Belanda dan karena sulitnya perekonomian, Romo menganjurkan untuk tidak bermewah-mewahan dalam merayakan Natal.

Bergeser sedikit lagi ke barat, seorang Kristen harus menjalani Natal di medan gerilya. Sebagai seorang Batak Nasrani, Tahi Bonar Simatupang tak mudik natalan ke kampung halamannya di Sumatera Utara. Sebab sebagai perwira TNI, yang baru saja diporak-porandakan armada Jenderal Spoor, sulit baginya untuk menjauhi medan gerilya. Kolonel Simatupang hanya bisa menghabiskan hari-hari Natal di Kaliburu, bersama rombongan gerilyawan. Beliau tinggal di Kaliburu selama hari-hari Natal, yakni tanggal 24, 25 dan 26 Desember 1948. Setelah Natal berlalu, Simatupang dan rombongannya bergerak menuju Ropoh.

Sementara itu, jelang Natal 1948, Donald Izacus Pandjaitan (1925-1965) sedang berada di pedalaman Sumatera. Bersama bawahan-bawahannya, ia bertolak ke daerah Riau. Mereka menyusuri rimba raya Bukit Barisan untuk bisa sampai. Malam Natal 25 Desember 1948, mereka sudah berada di sebuah desa kecil di dalam hutan. Mereka jauh dari rumah dan keluarga. Di desa itu mereka menginap pada sebuah warung. Malam itu seharusnya mereka sudah terlelap karena esok paginya tentu harus misa ke gereja.

 

Sebagai seorang Kristen taat, Pandjaitan berserah diri sekaligus membangun semangat pasukannya. Meski tak bisa ke gereja, Pandjaitan bersama para bawahannya tetap berusaha memuliakan Yesus Kristus. Mereka bernyanyi dengan khidmat dan gembira. Sementara Bustami, rekan seperjalanan mereka yang beragama Islam, turut merasakan kesyahduan Natal kawan-kawan Kristianinya. Malam itu, Natal menyatukan mereka semua dalam kebersamaan.

Kategori: Artikel

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder