Cut Nyak Dhien (1848-1908), putri Teuku Nanta Seutia, seorang bangsawan Kesultanan Aceh yang memilih angkat senjata melawan Belanda. Dua kali dia menjanda. Kedua suaminya, Teuku Cik Ibrahim Lamnga dan Teuku Umar, gugur di medan perang. Alih-alih menyerah, dia terus mengobarkan perlawanan hingga tertangkap dan dibuang ke Sumedang.

Setidaknya ada tiga fragmen dalam kehidupan Cut Nyak Dhien yang membuatnya sangat murka. Pertama ketika suaminya, Ibrahim Lamnga, bertempur melawan Belanda dan tewas pada 29 Juni 1878. Cut Nyak Dhien sangat sedih sekaligus marah karena ia tidak turut membantu suaminya dan justru ikut mengungsi ke tempat yang aman. Atas kematian Ibrahim Lamnga, Cut Nyak Dhien bersumpah bahwa suatu saat nanti ia pasti bisa menghancurkan dan mengusir Belanda dari bumi serambi Mekkah.

Tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar. Ia menerima lamaran itu lantaran telah berjanji akan menikahi laki-laki pertama yang membantunya balas dendam kematian Ibrahim Lamnga. Kemudian, Teuku Umar mengajak Cut Nyak Dhien bersama-sama memerangi Kaphe Ulanda alias Belanda Kafir. Namun, kesedihan kembali berulang. Dengan segala cara dan dinamikanya dalam perlawanan terhadap Belanda, Teuku Umar akhirnya pun tewas. Ia gugur pada 11 Februari 1899 karena rencananya menyerang Belanda di Meulaboh diketahui oleh pihak musuh.

Sepeninggal suaminya yang kedua, Cut Nyak Dhien memimpin garda paling depan perlawanan rakyat Aceh. Dengan tekad dan kekuatan yang tersisa, ia terus merepotkan Belanda. Cut Nyak Dhien menggelorakan semangat rakyat Aceh untuk terus mengangkat rencong melawan Belanda meskipun Teuku Umar telah tiada. Sepeninggal Umar, Cut Nyak Dhien jadi pemimpin dan dikelilingi oleh orang-orang tangguh yang sangat setia terhadapnya. Salah satu orang yang paling dipercaya Cut Nyak Dhien adalah Pang La’ot.

Namun, perjuangan melawan penjajah yang lebih unggul dari segi kekuatan ternyata semakin berat. Satu per satu panglima Aceh tewas dalam peperangan. Cut Nyak Dhien terpaksa menerapkan strategi gerilya, keluar masuk hutan, untuk merecoki Belanda, itu pun tidak jarang memakan korban nyawa di pihaknya. Jumlah pasukannya pun kian berkurang, dari yang semula lebih dari 300 prajurit lama-kelamaan semakin habis, bahkan tinggal menyisakan beberapa orang saja pada 1905.

Pang La’ot dengan segenap totalitasnya senantiasa mendampingi perjuangan Cut Nyak Dhien dalam perjuangan yang disebutnya perang sabil itu. Namun, di sisi lain, ia mulai pesimis dengan kenyataan yang dilihatnya dari hari ke hari. Kesehatan Cut Nyak Dhien memburuk, kondisinya semakin melemah, bahkan penglihatannya pun mulai rabun. Tidak banyak yang bisa dilakukan di pedalaman hutan Aceh untuk membantu Cut Nyak Dhien. Pang La’ot pun menawarkan supaya Cut Nyak Dhien mau bekerjasama dengan Belanda agar mendapatkan perawatan yang lebih baik.

Pang La’ot merenung, berpikir keras mencari jalan terbaik. Ia sangat hormat dan sayang kepada Cut Nyak Dhien, tidak tega melihat junjungannya itu semakin menderita karena sakit. Akhirnya, dengan hati yang sangat berat, Pang La’ot secara diam-diam menemui komandan Belanda. Kepada Belanda, ia bersedia memberitahu di mana letak persembunyian pasukan Aceh yang tersisa. Namun, Pang La’ot memohon agar Cut Nyak Dhien diperlakukan dengan hormat, serta mendapatkan perawatan yang baik.

Belanda tentu saja setuju dengan tawaran tersebut. Awal November 1905, markas Cut Nyak Dhien diserbu. Korban pun berjatuhan dalam bentrokan tak seimbang yang berlangsung di bulan puasa itu. Beruntung, anak Cut Nyak Dhien, Cut Gambang, berhasil menyelamatkan diri. Namun tidak demikian dengan Cut Nyak Dhien. Kondisi tubuhnya yang sangat lemah tidak memungkinkan untuk pergi apalagi melawan. Cut Nyak Dhien yang sadar adanya pengkhianat di antara orang-orangnya pun sadar bahwa inilah akhir perjuangannya.

Cut Nyak Dhien kemudian dibawa ke Banda Aceh. Belanda pun memenuhi kesepakatan yang dijalin dengan Pang La’ot. Cut Nyak Dhien dirawat dengan intens hingga kondisinya mulai membaik. Namun, Belanda masih saja khawatir apabila Cut Nyak Dhien kembali melawan, apalagi di berbagai tempat di pedalaman masih ada orang-orang lokal yang siap mengobarkan peperangan lagi. Dan itu bisa saja terjadi jika Cut Nyak Dhien memberikan perintah.

Maka, diputuskan bahwa Cut Nyak Dhien harus diasingkan ke luar Aceh. Sumedang, Jawa Barat, menjadi lokasi pilihannya. Hari-hari terakhir sang srikandi pun dihabiskan di tanah Sunda hingga ajal akhirnya menjemput Cut Nyak Dhien pada 6 November 1908, tepat dalam usia 60 tahun. Tempat peristirahatan terakhir Cut Nyak Dhien baru ditemukan setelah Indonesia merdeka, yakni pada 1959. Pencarian makamnya di pedalaman Sumedang dilakukan atas permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan, berdasarkan data-data dari negeri Belanda. Tanggal 2 Mei 1964, Cut Nyak Dhien ditetapkan sebagai pahlawan nasional.

Kategori: Artikel

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder