Hanya beberapa pekan setelah proklamasi kemerdekaan, orang-orang Surabaya dan sekitarnya sadar bahwa NICA Belanda datang bersama tentara Sekutu untuk kembali berkuasa di Indonesia. Pada 19 September 1945, banyak orang rela mati dalam peristiwa penyobekan bagian biru bendera Belanda di Hotel Yamato. Di antara orang-orang Indonesia yang tidak suka kehadiran militer asing kawan NICA tersebut, terdapat kaum bersarung yang merupakan santri dari pesantren-pesantren tradisional yang berafiliasi dalam Nahdlatul Ulama. Sebelum datang Brigade 49 Divisi India Tentara Inggris pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby, kalangan santri merasa tentara asing akan datang dan perang tidak bisa dihindarkan. Pada akhir Oktober 1945 di Surabaya para kyai berkumpul dan mantap berdiri di belakang Republik Indonesia. Pada tanggal 21 dan 22 Oktober 1945, wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya dan menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad (perang suci). Dalam pertemuan itu lahirlah apa yang dikenal sebagai Resolusi Jihad.

Pihak NU menyebut bahwa umat dan ulama di banyak tempat punya hasrat besar untuk menegakkan agama Islam dan mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Niat itu tertuang dalam pertimbangan Resolusi Jihad bahwa mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum Agama Islam, termasuk sebagai satu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam”. Lewat Resolusi Jihad, kaum santri memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sebadan terhadap usaha-usaha jang akan membahayakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki-tangannya. Bagi NU, baik Belanda maupun Jepang telah berbuat kezaliman di Indonesia.

Sebelum Oktober 1945 berakhir, pertempuran melawan Jepang sudah terjadi di beberapa tempat selain di Surabaya. Kaum santri juga ikut adu otot melawan tentara asing. Meski tidak punya pasukan yang kemampuan tempurnya setara dengan tentara Jepang, mereka setidaknya memiliki pemuda-pemuda yang siap bertempur yang dilatih selama masa pendudukan. Dari NU ada milisi bernama Hizbullah yang dilatih secara militer oleh tentara Jepang. Hizbullah sangat berperan di masa Revolusi. 

Resolusi Jihad mempunyai dampak besar di Jawa Timur. Pada hari-hari berikutnya, ia menjadi pendorong keterlibatan banyak pengikut NU untuk ikut serta dalam Pertempuran 10 November 1945. Banyak pemuda yang menggunakan jimat pemberian kyai dari desa mereka masing-masing. Bung Tomo bahkan diketahui meminta nasihat kepada para kyai NU. Bung Tomo dikenal sebagai orator dalam Pertempuran 10 November 1945 yang membakar semangat pemuda Surabaya, salah satunya dengan pekikan “Allahu Akbar”-nya.

Setelah pertempuran 10 November 1945 berlalu, Resolusi Jihad terus disuarakan. Dalam Muktamar Nahdlatul Ulama pada 26-29 Maret 1946 di Purwokerto, Kiai Hasyim Asyari kembali menggelorakan semangat jihad di hadapan para peserta muktamar. “Tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri jajahan”, kata Kiai Hasyim. Eksistensi penjajah dianggap Kiai Hasyim Asyari akan menyulitkan penegakan syariat Islam. Setelah Kiai Hasyim wafat, tentara Laskar Hizbullah menjadi salah satu laskar yang terlibat dalam Revolusi Indonesia. Bahkan ada juga bekas milisi Hizbullah yang bergabung dengan TNI. Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 kemudian dikenang sebagai Hari Santri Nasional yang ditetapkan oleh Presiden pada tahun 2014. 

Kategori: Artikel

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder