Goenawan adalah adik dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, salah seorang pelopor gerakan nasionalisme di Indonesia. Nama Goenawan tidaklah setenar kakaknya. Tapi seperti Tjipto, ia pun memiliki minat terhadap aktivitas politik dan sama-sama bernyali tinggi.

Di usia belum lagi 17 tahun, Goenawan telah membuat gempar pembaca koran Java Bode yang kebanyakan datang dari kalangan priayi dan pejabat pemerintah Belanda. Artikel yang ditulisnya itu menyerang kebijakan pemerintah yang mengangkat bupati bukan karena kualifikasinya melainkan karena garis keturunan. Goenawan seorang priayi, namun sejak mula ia telah merasakan sesuatu yang tidak beres pada masyarakat jajahan: diskriminasi.

Goenawan dan Tjipto berasal dari kalangan priyayi pembangkang. Dalam buku Keselerasan dan Kejanggalan: Pemikiran-Pemikiran Priayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX, Savitri Prastiti Scherer menulis tentang asal-usul keluarga Mangoenkoesomo. Mangoenkoesomo senior, ayah Tjipto dan Goenawan, bekerja sebagai guru bahasa Melayu di sekolah dasar pribumi di Ambarawa. Pada masa akhir kariernya, ia diangkat menjadi kepala sekolah dasar di Semarang.

Ayah Mangoenkoesomo senior atau kakek dari Tjipto dan Goenawan bersaudara, Mangoensastro, pernah mengabdi kepada Pangeran Diponegoro selama Perang Jawa berlangsung 1825 – 1830. Ketika Diponegoro kalah perang Mangoensastro menyingkir ke pedesaan di pantai Utara Jawa dan mengubah namanya menjadi Pantjoroso. Kekalahan Diponegoro merupakan pukulan telak buat pengikutnya, tak terkecuali buat Pantjoroso.

Goenawan, sebagaimana Tjipto, dikenal juga sebagai murid kedokteran yang jenial dan pemberani. Ketika ia bersekolah di STOVIA, sekolah tinggi dokter Jawa, ia telah memendam kesadaran kebangsaan. Karena itu, ketika Soetomo di tahun 1908 melontarkan gagasan untuk membentuk wadah bagi kalangan priyayi Jawa yang bersifat sosial, ekonomi, dan budaya, Goenawan pun langsung tertarik. Ia, bersama Tjipto, dan temannya, Soeraji, bergabung dengan organisasi yang kemudian diberi nama Boedi Oetomo.

Tapi, belakangan Tjipto Mangoenkoesmo memutuskan keluar dari Boedi Oetomo, yang dinilainya terlalu konservatif. Bersama Soewardi Soerjaningrat dan E.F.E, Douwes Dekker (yang juga dikenal sebagai Setiabudi), ia kemudian di tahun 1912 mendirikan Indische Partij—organisasi pergerakan pertama yang memakai label partai politik.

Sedangkan Goenawan memutuskan bertahan di Boedi Oetomo, Goenawan segaris dengan Soetomo, dan dalam beberapa hal pemikiran Soetomo dipengaruhi oleh Goenawan. Goenawan bertahan di Boedi Oetomo, betapapun Boedi Oetomo telah mengalami disorientasi, karena dia masih percaya bahwa priayi-birokrat masih bisa diajak untuk menjadi manusia yang tak serta merta tunduk begitu saja pada kemauan Belanda. Seperti juga Soetomo, demikian tulis Savitri Prastiti Scherer, Goenawan menyadari sedalam-dalamnya bahwa sudah kewajiban mereka membimbing para priyayi supaya menghargai martabat sendiri sebagai orang merdeka.

Keputusan Goenawan untuk bertahan di Boedi Oetomo mendapatkan tentangan dari Tjipto dan acapkali mereka terlibat adu pendapat. Kendati demikian mereka sama-sama memiliki idealisme tentang gambaran negeri mereka pada masa yang akan datang. Pada perayaan sepuluh tahun Boedi Oetomo, Goenawan membuat beberapa tulisan yang menegaskan sumbangan Boedi Oetomo bagi masyarakat jajahan di Hindia Belanda. Sebuah tulisan lain dari Goenawan juga menunjukkan sikapnya yang antidiskriminasi. Menurutnya Boedi Oetomo merupakan langkah awal dari bentuk nasionalisme Indonesia.

Artikel itu ditulis pada masa di mana Boedi Oetomo sedang berada dalam titik nadir terendah, posisi di mana orientasi politik mereka sama sekali tidak menunjukkan ke arah yang lebih jelas kecuali sebagai gerakan budaya dan pendidikan. Goenawan yang masih punya harapan tinggi terhadap Boedi Oetomo memperlihatkan rasa muaknya terhadap para priayi-birokrat kendati terselip optimisme untuk terus berupaya menebarkan pengaruhnya di kalangan mereka. Tjipto jauh lebih frontal di dalam menghadapi kelompok medioker Jawa yang membungkuk-bungkuk di hadapan tuan Belandanya.

Goenawan memang tidak sefrontal kakanya Tjipto, namun Goenawan tetap berpendapat bahwa ketertinggalan pemuda Jawa, Sunda dan Madura haruslah dikejar melalui pendidikan dan secara berangsur merebut kedaulatan serta kemerdekaannya.

Sejarah mencatat Boedi Oetomo sebagai organisasi yang menandai kebangkitan nasionalisme Indonesia. Sejarah juga mencatat keterlibatan beberapa tokoh pionir gerakan nasionalis pada saat berdirinya organisasi ini. Benar kemudian terjadi perpecahan, seperti yang dialami oleh Tjipto dan adiknya, Goenawan Mangoenkoesoemo, namun demikian perpecahan itu bukan terjadi pada pilihan berpihak kepada kolonialisme atau tidak, melainkan pada pilihan jalan menuju kemandirian. Tjipto lebih terbuka, tanpa kompromi melawan pemerintah kolonial dan segala macam bentuk dukungan kepada sistem kolonial itu.

Sumber: 

Scherer, Savitri. Keselarasan dan Kejanggalan Pemikiran-Pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX, Depok: Komunitas Bambu, 2012.

Kategori: Artikel

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder